Tax Amnesty dalam Perspektif Pandangan Ekonomi Islam

Oleh: Reza Fernandes (Staf Departemen Eksternal, SEF UGM)Baru-baru ini, Indonesia dihebohkan dengan adanya kasus Panama Papers yang membawa nama pejabat- pejabat besar di Indonesia. Kasus ini bermula dari penerapan pajak di Indonesia yang menggunakan pajak progresif. Hal ini menyebabkan semakin besar tingkat produktivitas yang dihitung berdasarkan penerimaan pendapatan, maka semakin besar pula beban wajib pajak yang harus dikeluarkan. Pengusaha yang memiliki produktivitas tinggi berusaha untuk memanipulasi laporan keuangan, menyuap petugas pajak hingga menyembunyikan kekayaan mereka di Negara-negara tax haven (negara yang memiliki tariff pajak yang rendah dan kerahasiaan informasi keuangan seseorang dijaga secara hukum seperti Singapura, Swiss, dan Panama). Oleh sebab itu, Tax Amnesty muncul sebagai upaya untuk menarik penerimaan negara melalui pajak kekayaan yang ada diluar negeri dengan pedoman UU Pengampunan Nasional. Dengan adanya pengampunan pajak akan berimplikasi pada peningkatan penerimaan APBN di Indonesia.
Menurut McKensey, ada sekitar USD250 miliar atau sekitar Rp 3.250 triliun kekayaan orang-orang kaya Indonesia (High Net Worth Individuals) yang disimpan di luar negeri. Selain itu, Bank Indonesia dengan menggunakan data Global Financial Integrity: Illicit Financial Flows Report 2015, memperkirakan nilai dana yang tidak jelas sumbernya yang berasal dari Indonesia yang ditaruh di luar negeri mencapai Rp 3.147 triliun. Namun Pemerintah juga sadar bahwa dari 2,5 juta Wajib Pajak badan dan 27 juta Wajib Pajak perorangan, hanya 10 juta atau sekitar 100 ribu orang yang melaporkan SPT-nya. Artinya, kesadaran pajak dalam negeri masih kurang.
Pada tax amnesty ini terdapat beberapa kebijakan pengampunan atau amnesty yang berbeda, yang dibagi dalam 3 periode. Pada periode pertama, jika periode pelaporan Oktober sampai dengan Desember 2015, maka tarif yang dikenakan dari keseluruhan harta wajib adalah sebesar 3%. Jika periode pajak yang dilaporkan bulan Januari-Juni 2016, maka tarif yang dikenakan sebesar 5% dan untuk periode Juli-Desember 2016 akan dikenakan pajak sebesar 8%.
Tax Amnesty ini menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat. Dari sisi kontra, tax amnesty dianggap memberikan rasa ketidakadilan kepada para wajib pajak yang selama ini taat dalam membayar pajak. Kebijakan ini dapat memicu wajib pajak yang patuh untuk mengulur waktunya membayar pajak dengan harapan pemerintah akan memberikan pengampunan kepada mereka. Selain itu, negara tidak peduli darimana dana itu berasal. Apakah dari hasil korupsi, tindakan yang menghasilkan uang haram atau setengah haram yang penting asal dilaporkan dan nantinya akan dikenai pajak. Pemerintah dianggap telah gagal dalam menegakkan supremasi hukum yaitu dalam melakukan manajemen pengawasan terhadap orang-orang yang berbisnis  dan memiliki kewajiban membayar pajak, baik pajak penghasilan pribadi maupun pajak transaksi bisnis lainya.
Dari sisi Pro Tax Amnesty, kebijakan ini mendorong pertumbuhan ekonomi. Nilai rupiah akan menguat. Likuiditas perbankan akan meningkat, sehingga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kredit. Uang yang diinvestasikan dalam bentuk obligasi dan saham juga akan meningkatkan sumber pembiayaan pembangunan dan kegiatan bisnis. Selain itu, dalam jangka panjang, data basis pajak baik orang dan harta yang menjadi objek pajak akan meningkat. Pemerintah juga dapat mempersiapkan diterapkannya AEoI (Automatic Exchange System of Information) di tahun 2018. Nantinya, data-data nasabah perbankan akan menjadi informasi publik yang dapat diakses di negara manapun di dunia. Jika dalam persiapan AEoI ini Indonesia tidak dapat memberikan data yang baik ke negara luar, maka kondisi kita akan tetap terpuruk.
Ada beberapa dalil mengenai eksistensi pajak di dalam islam, sebagai berikut :
1.    Sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram sebagaimana haramnya hari ini, di negeri ini dan di bulan ini…” (HR al-Bukhari Muslim).
Hadist ini menjadi dalil atas ketidakbolehan Pemerintah menarik pajak dalam membiayai penyelenggaraan negara. Negara hanya mengandalkan sumber-sumber pendapatan Baitul Mal telah ditetapkan oleh syariah seperti fai, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah, zakat (khusus untuk 8 asnaf), pendapatan dari harta milik umum dan harta milik negara dan sebagainya. Jika sumber-sumber tersebut dikelola dengan baik maka akan cukup untuk membiayai pengeluaran negara.
Namun, jika sumber pendapatan tersebut tidak mencukupi dan ada kebutuhan yang mendesak serta harus segera dipenuhi, pemerintah dapat membebankan kewajiban pajak terhadap orang-orang yang mampu membayar pajak. Jumlah pajak tidak boleh melebihi kebutuhan Baitul Maal dan hanya bersifat sementara (jika telah dipenuhi, maka pungutan pajak akan diberhentikan)
2.    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”[An-Nisa : 29]

Dalam ayat diatas, Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya. Pajak yang dimaksud merupakan pungutan yang bermanfaat bagi seluruh individu masyarakat.
3.    Dalam sudut pandang Islam sangat jelas dimana setiap individu yang memanfaatkan fasilitas umum yang telah disediakan oleh pemerintah untuk dimanfaatkan dan untuk kemaslahatan individu. Maka, sebaliknya sudah menjadi kewajiban setiap individu untuk memberi kompensasi dalam rangka mengamalkan prinsip“al-ghurm bi al-ghunm”, tanggungan kewajiban seimbang dengan manfaat yang diambil. Maka, apapun supermasi hukum yang dilakukan oleh pemerintah, harus bisa ditaati oleh masyarakat asalkan untuk kemaslahatan.
Solusi yang dapat diambil adalah perlunya harmonisasi undang-undang perbankan agar menyesuaikan KUP yang telah lebih dahulu diterbitkan, dan menentukan orang -orang yang akan menempati komite yang menentukan dikabulkan atau tidaknya pengajuan tax amnesty. Oleh karena itu, yang paling penting adalah pemerintah juga harus mempertimbangkan insentif bagi keadilan UKM. Pemerintah juga harus memastikan bahwa kebijakan ini akan menguntungkan negara, bukan hanya untuk segelintir orang saja.
Sumber :
1.    Tempo.co
2.    Liputan6.com
3.    Dakwatuna.com
4.    Voa-islam.com

Scroll to Top