Notulensi Kajian Kontemporer 3
Pembicara : Ahmad Akbar Susamto, S.E., M.Phil., Ph.D (Dosen FEB UGM)
Moderator : Muhammad Imam Adli (Mahasiswa Ilmu Ekonomi ’13)
Moderator :
Tax Amnesty atau pengampunan pajak adalah pemerintah mau mengampuni sanksi pidana, administrasi, dan berbagai sanksi lainnya asalkan orang yang sebelumnya tidak membayar pajak terssebut melakukan dua hal yaitu membayar tebusan ,dan melunasi semua tunggakan pajaknya (Menurut kementrian Keuangan). Awal dari adanya ide tax amnesty ini adalah dikarenakan pemerintah kekurangan dana APBN karena penerimaan pajak 2016 jauh di bawah target, sehingga dengan adanya tax amnesty, pemerintah berharap orang-orang yang tidak pernah membayar pajak atau tidak pernah melapor akan menembus uang nya ke pemerintah. Target pemerintah sendiri akan tax amnesty ini hingga akhir tahun 2016 adalah 165 Triliun.
Sebelumnya, program tax amnesty ini merupakan isu yang gagal. Tax amnesty pajak ini dibagi menjadi tiga peride, yaitu: juli-september, September-desember, dan januari-maret 2017. Pertama-tama, pada bulan juli, penerimaan dari tebusan pajak ini adalah 1,5 Triliun dari target 165 Triliun. Pada bulan agustus, 6 Triliun. Dan pada September ini, tiba-tiba muncul 90 Triliun yang pada akhirnya orang berpendapat bahwa tax amnesty akan berhasil. Namun, jumlah yang dibayarkan kriminal pajak ini masih terbilang jauh sedikit dibanding orang-orang yang taat pajak. Apakah ini adil?
Pembicara :
Tax amnesty merupakan persoalan yang sangat serius. Pada selasa, 11 oktober 2016 lalu, saya menjadi saksi ahli bagi pihak yang menggugat tax amnesty dalam sidang Mahkamah Konstitusi, dimana MK merupakan lembaga Negara yang berfungsi untuk mereview UU terhadap konstitusi kita.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak disetujui Dewan Perwakilan Rakyat pada 18 Juni 2016 dan disahkan Presiden pada 1 Juli 2016. Namun, UU yang mencetak rekor pembahasan tersingkat tersebut telah mengundang kontroversi. Di satu sisi banyak pihak yang mendukung. Di sisi lain, banyak pula yang mempertanyakan atau menolak. Beberapa elemen masyarakat, bahkan mengajukan gugatan judicial review dan memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan UU di atas.
Substansi UU No. 11/2016
Pasal 1
Kita tahu bahwa setiap tahun kita wajib membayar pajak. Pajak yang dimaksud dalam UU ini adalah dalam konteks pajak penghasilan. Dalam hal ini, yang dimaksudkan adalah misalnya pengusaha-pengusaha besar yang mana pendapatan mereka tidak bisa langsung dipotong dari awal. Seharusnya, mereka membayar pajak setiap tahun. Namun yang biasa dilaporkan lebih sedikit daripada seharusnya. Yang tidak dilaporkan ini biasanya disimpan baik didalam negeri maupun diluar negeri. Jika mereka tidak membayar pajak ini, maka dinamakan dengan pajak terhutang. Jika tidak membayar pajak terhutang, maka mereka akan dikenakan tagihan, berupa pajak itu sendiri, dan bunga selama mereka tidak membayar pajak tersebut, dimana bunganya maksimal 2%/bulan, dan juga ditambah dengan denda serta hukuman pidana dimana kadarluasanya adalah selama lima tahun. Nah untuk itu, agar mereka terhindar dari segala ancaman tidak membayar pajak terhutang tersebut, maka mereka harus melapor ke pemerintah dan mengatakan jumlah harta yang dikumpulkan dari pendapatan yang tidak kena pajak. Jika mereka melapor, maka akan dikenakan tebusan 2% dari nilai harta tadi. Sebenarnya 2% yang dikenakan tersebut adalah 2% dari nilai harta tadi yang dinamakan harta tambahan yang belum dilaporkan dikurangi hutang.
Kekeliruan-kekeliruan UU No. 11/2016 :
Dari sisi ekonomi, UU No. 11/2016 menunjukkan sejumlah kekeliruan:
(1) Kekeliruan yang menyangkut dasar pemikiran UU No. 11/2016;
(2) Kekeliruan yang menyangkut tujuan UU No. 11/2016;
(3) Kekeliruan yang menyangkut substansi UU No. 11/2016; dan
(4) Kekeliruan yang timbul sebagai dampak UU No. 11/2016
Kekeliruan-kekeliruan UU No. 11/2016 :
(1) Kekeliruan yang menyangkut dasar pemikiran UU No. 11/2016;
Penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak memiliki kontribusi yang sangat besar, yakni sekitar 86,2% dari total penerimaan pemerintah. Dalam UU no 11 tahun 2016, dalam hal menimbang poin (a), saya setuju bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertujuan untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia. Jika pajak benar-benar memiliki kontribusi yang sangat besar dalam pembangunan, maka pemerintah seharusnya sungguh-sungguh menegakkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perpajakan. Peraturan perpajakan sudah banyak, yakni UU no 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, sebagaimana diubah dengan UU no 16 tahun 2009. Dan juga UU no 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana diubah dalam UU no 36 tahun 2008. Dan UU no 19 tahun 1997 tentang penagihan pajak dengan surat paksa sebagaimana telah diubah dengan UU no 19 tahun 2000. Dikarenakan pendapatan dari perpajakan sangat penting, maka pemerintah harus menegakkan peraturan perpajakan tersebut, sehingga penerimaan perpajakan tercapai sesuai dengan yang diperlukan dalam APBN.
Kesadaran masyarakat dalam membayar pajak itu diperlukan, namun ini bukanlah paling utama, sebab pada hakikatnya jika kita memicu kepada undang-undang, membayar pajak bukan atas dasar kesukarelaan, namun merupakan kewajiban sesuai UUD 1945. Maka dari itu, saya mengatakan UU no 11 tahun 2016 memiliki kekeliruan bahwa menimbang “bahwa kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya masih perlu ditingkatkan”. Ini keliru untuk dijadikan alasan membuat undang undang tentang pengampunan pajak, karena kesadaran bukanlah alasan untuk membuat undang-undang untuk mengampuni pajak.
Jika merujuk pada ketentuan UUD 1945, pasal 23A : Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Jadi, pungutan pajak bersifat memaksa. Mengingat sifatnya yang memaksa, maka pemerintah tidak hanya memberi wewenang untuk memberi sanksi administrasi kepada wajib pajak yang tidak taat, tetapi juga melakukan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan dan membawa tindak perkara pidana dibidang perpajakan tersebut ke pengadilan. “terdapat Harta, baik di dalam maupun di luar negeri yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan”. Oleh karena itu, pemerintah harus mengejar tunggakan pajak orang-orang yang belum membayar pajak, bukan diampuni.
Dalam sidang-sidang yang sama sebelumnya, terdapat banyak alasan mengapa pemerintah membuat UU no 11 tahun 2016 ini. Salah satu diantaranya adalah masih banyak uang kita di luar negeri, termasuk di Singapura, yang mencapai sekitar 2600 triliun. Nah, ketika pemerintah tau bahwa nilai nya sangat besar, maka seharusnya pemerintah mengejar, bukan kemudian malah membuat undang-undang baru yang kemudian mengampuni pajaknya. Undang-undang ini memberi pengampunan kepada wajib yang selama ini tidak taat pajak dengan tebusan yang sangat kecil.
UUD 1945 sudah menyebutan pungutan pajak bersifat memaksa. Pemerintah sendiri sudah tau bahwa masih banyak orang yang belum bayar pajak dan jumlahnya sangat besar sekali. Pertanyaannya, kenapa pemerintah lebih memilih membuat UU pengampunan pajak?! Adakah sesuatu dibalik ini semua?
Jadi, ada sesuatu yang implisit yang tidak bisa disebutkan secara tegas oleh DPR dan pemerintah sebagai dasar pembentukan UU no 11 tahun 2016 ini. Apa itu ? Pertama adalah pemerintah tidak memiliki cukup kemampuan untuk menegakkan peraturan yang menyangkut tentang perpajakkan, dengan segala keterbatasan yang ada baik yang menyangkut tentang organisasi, sumber daya manusia, maupun basis data dan teknologi informasi. Pemerintah tidak mampu mendeteksi siapa saja yang tidak taat pajak, pemerintah tidak mampu memberikan sanksi kepada yang tidak patuh, tidak bisa melakukan penyidikan tindak pidana tersebut, apalagi membawanya ke pengadilan.
Dalam keterangan Presiden atas Permohonan Pengujian UU No. 11/2016 tentang Pengampunan Pajak tanggal 20 September 2016 terselempit pengakuan yang membenarkan ketidakmampuan Pemerintah tersebut. Disebutkan di sana bahwa, “Tanpa UU Pengampunan Pajak yang menjadi bridge to legality (Jembatan kepatuhan) bagi wajib pajak yang menempatkan dananya di luar negeri, maka data-data mengenai harta tersebut akan sulit didapatkan oleh otoritas perpajakan karena wewenang otoritas perpajakan saat ini masih sangat lemah”
Masalahnya adalah jika pemerintah benar-benar tidak mampu menegakkan UU yang sudah ada, bagaimana mungkin mereka akan berjanji menegakkan UU no 11 tahun 2016 pasal 18 ayat (4) yang berbunyi “Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan” ini ?! Sebaliknya, jika pemerintah yakin akan bisa menegakkan ketentuan UU no 11 tahun 2016 pasal 18 ayat (4) , mengapa pemerintah harus membuat undang-undang baru? Mengapa tidak menegakkan saja undang-undang yang sudah ada sebelumnya? Nah ini adalah alasan pertama.
Alasan kedua adalah adanya kepentingan yang besar yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Ditengah lambatnya laju pertumbuhan ekonomi nasional dan global, diluncurkan lah alasan-alasan untuk menjustifikasi pengampunan pajak. Begini ceritanya:
Kesepakatan system pertukaran informasi otomatis / Automatic exchange system of information (AEOI) secara global akan berlaku tahun 2018. Indonesia sebagai salah satu negara anggota G20 sedang menandatanganinya, dan kita mengadopsi bukan pada tahun 2018, namun lebih awal yakni September 2017. Sistem pertukaran informasi otomatis akan memungkinkan pertukaran data perbankan dan data perpajakan antar negara. Melalui system ini, semua wajib pajak yang ada di luar negeri akan langsung terlacak oleh system negara asal temasuk Indonesia, maka orang-orang akan susah untuk menyembunyikan harta mereka. Di dalam negeri, system pertukaran informasi otomatis akan diikuti perubahan peraturan tentang kerahasiaan bank, jadi, tidak bisa tidak UU no 10 tahun 1998 tentang perbankan khususnya pasal 40 ayat 1 tentang kerahasiaan bank pasti diamandemen. Peraturan ini wajib diubah agar pemerintah bisa meakses semua informasi rekening yang bertujuan untuk system pertukaran informasi otomatis ini. Dengan demikian, kemungkinan seorang wajib pajak untuk menghindari pajak juga akan susah. Nah, jika tidak ada UU pengampunan pajak, maka wajib pajak yang selama ini menyembunyikan harta di luar negeri dan dalam negeri, bukan hanya terkena kewajiban membayar pajak, mereka akan ketahuan dan harus dikenai denda, sanksi administrasi, bahkan sanksi pidana. Intinya yang tidak taat pajak akan membayar sangat besar ditambah pidananya. Singkatnya, jika tidak ada UU pengampunan pajak, para wajib pajak yang tidak taat akan menghadapi situasi sulit. Dengan adanya UU pengampunan pajak, mereka akan merasa aman, dengan hanya membayar 2% dari harta mereka yang tidak dilaporkan. Maka dapat dikatakan bahwa UU no 11 tahun 2016 merupakan jalan penyelamatan bagi para wajib pajak yang selama ini tidak taat pajak.
Pemerintah selalu mengatakan bahwa laju pertumbuhan ekonomi lambat dan perekonomian global lesu. Faktanya, dulu Indonesia pernah mengalami situasi ekonomi yang lebih sulit. Tahun 2001, 2002, dan 2003 kita mengalami krisis moneter. Pertumbuhan ekonomi jauh lebih rendah daripada sekarang. Bahkan di tahun 2015, pertumbuhan ekonomi kita 4,79% dan dulu tidak sampai begitu dan tidak ada yang berbicara mengenai pengampunan pajak. Pada tahun 2009, kita juga mengalami situasi ekonomi yang buruk dan juga ada global economics crisis. Lalu mengapa sekarang ditengah situasi ekonomi yang tidak terlalu buruk, kita mengatakan bahwa seolah-olah jika tidak ada pengampunan pajak, kita akan berakhir?? Mengapa pengampunan pajak seolah-olah dijadikan satu-satunya alasan untuk selamat sedangkan dulu kita pernah mengalami situasi yang lebih sulit dan tenang-tenang saja?
Realisasi penerimaan pajak pada kuartal 1 ditahun 2016 memang lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Namun, bisa saja hal ini terjadi karena adanya isu pengampunan pajak sebelumnya, karena pengampunan pajak muncul di DPR pada September 2015. Maka justifikasinya adalah hanya dikarenakan penerimaan pajak pada kuartal 1 tahun 2016 yang turun dari sebelumnya, dijadikan alasan adanya UU pengampunan pajak.
Dalam pasal 22 UU no 11 tahun 2016 yang berbunyi “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Kenapa pasal ini harus muncul? Jika tidak bersalah tidak akan dipidana. Pasal ini muncul dikarenakan ketakutan yang berlebihan. Mereka tahu bahwa mereka berisiko untuk dituntut, makanya dibuat pasal ini.
(2) Kekeliruan yang menyangkut tujuan UU No. 11/2016;
Pasal 2 ayat 2 butir (2):
a. Tujuan yang pertama mengenai pengalihan harta dari luar negeri ke dalam negeri (Repatriasi Asset). Pengalihan harta memang baik dalam perekonomian. Namun, hal ini tidak harus identic dengan pengampunan pajak, sebab masalah pajak bukan hanya satu-satunya alasan orang menyimpan uang diluar negeri. Alasan lainnya adalah melindungi harta dari stabilitas politik dan keamanan, melindungi harta dari kondisi perekonomian yang tidak stabil, dan diversifikasi portofolio. Maka dari itu, yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk mengalihkan harta dari luar negeri ke dalam negeri adalah dengan menciptakan rasa aman dalam stabilitas politik dan keamanan, memelihara stabilitas perekonomian, dan mendorong diversifikasi portofolio di pasar modal.
Nah pengalihan harta dari luar negeri kedalam negeri melalui pengampunan pajak hanya relevan bagi mereka yang selama ini menyimpan harta di luar negeri karena alasan pajak. Dapat dikatakan bahwa pengalihan harta dari luar negeri kedalam negeri melalui pengampunan pajak hanya ditujukan bagi orang-orang yang tidak taat pajak. Dan juga jika saya boleh menambahkan, pengalihan harta dari luar negeri kedalam negeri melalui pengampunan pajak adalah untuk orang-orang yang hartanya memiliki masalah, misalnya hartanya dibawa dari hasil korupsi dan pidana-pidana lainnya. Nah mengalihkan harta dari luar negeri ke dalam negeri melalui pengampunan pajak merupakan kesempatan emas untuk orang-orang yang ingin memutihkan harta mereka sehingga seolah-olah menjadi harta halal. Dengan kata lain, jika pemerintah ingin ada harta yang masuk ke dalam negeri, itu hanya relevan untuk harta-harta yang tidak halal semua. Karena harta yang disimpan di luar negeri itu selain alasan pajak atau kejahatan, tidak relevan bagi mereka pengampunan pajak, karena diluar negeri harta mereka telah digunakan untuk investasi dan menjaga keamanan harta mereka.
b. Tujuan kedua : mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi.
Saya setuju untuk mendorong reformasi perpajakan. Namun akan menjadi keliru jika kita benar-benar percaya rencana pengampunan pajak adalah untuk mendorong reformasi perpajakan. UU no 11 tahun 2016 tentang pengampunan pajak merupakan perundang-undangan yang muncul secara tiba-tiba. Sebelum RUU tentang pengampunan pajak muncul, pemerintah telah terlebih dahulu menyiapkan RUU lain tentang revisi ketentuan UU perpajakan. RUU tentang revisi ketentuan UU perpajakan sangat penting, sudah masuk dalam daftar program registrasi nasional prioritas sejak awal tahun 2015, namun tidak terbahas-bahas oleh DPR. Yang menarik, bukannya memperjuangkan RUU yang tidak tebahas tadi, tiba-tiba bulan September 2015, pemerintah membuat RUU baru mengenai pengampunan pajak, saat itu namanya masih RUU tentang pengampunan nasional. Itu sesuatu yang muncul tiba-tiba. Pada saat itu, pembahasan RUU ini ditolak oleh DPR. Awal januari, RUU ini dibawa lagi oleh pemerintah ke DPR, dan ditolak lagi. Dan setelah melalui perdebatan, akhirnya pada april 2016, dibahas dengan sangat cepat, dan pada Bulan Juli 2016 sudah dikeluarkan dan disahkan UU nya. Beberapa pakar mengatakan bahwa UU ini tidak melalui beberapa proses yang normal, dikarenakan biasanya dibentuk tim perumusan naskah akademik dan ada uji sah naskah akademik. Intinya, UU ini muncul secara tiba-tiba, 1 juli di sahkan oleh presiden dan kemudian berlaku. Lalu bagaimana RUU tentang revisi ketentuan UU perpajakan tadi?
c. Tujuan ketiga : meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan.
Dalam jangka panjang, pemerintah mengklaim bahwa dengan adanya pengampunan pajak, maka akan ketahuan siapa yang tidak taat pajak, dan tahun depan akan menjadi penerimaan pajak baru. Harta yang dilaporkan adalah berupa asset. Padahal yang kena pajak adalah pendapatan dari asset tersebut. Jadi jika besok yang mau di kenakan pajak lagi adalah bukan asset yang sekarang dilaporkan itu, tapi pendapatannya, misalnya jika ada yang melaporkan rumah yang tidak digunakan, maka tahun depan tidak ada lagi yang akan dilaporkan karena rumah tersebut tidak menghasilkan pendapatan. Maka dari itu, sebenarnya yang didapatkan jauh lebih kecil dari yang dikatakan pemerintah sebelumnya.
Klaim pemerintah, dengan adanya tax amnesty, maka dalam jangka pendek akan menambah pendapatan negara, dalam jangka panjang akan mendapatkan tambahan penghasilan dari pendapatan harta yang dilaporkan. Ini akan menjadi benar jika pemerintah menambahkan opportunity cost. Maksudnya adalah klaim bahwa pemerintah akan mendapatkan tambahan pendapatan lebih hanya benar jika kita mengabaikan opportunity cost berupa potensi penerimaan negara dari pajak terutang dan bunga pajak terutang yang mana jumlahnya lebih besar daripada tebusan yang hanya 2% dari harta yang belum dilaporkan.
Yang kedua, klaim akan pengampunan pajak akan menambah penerimaan jangka panjang hanya relevan jika kita mengabaikan fakta bahwa tidak lama lagi, kita akan menerapkan Automatic exchange system of information (AEOI). Sebab, dengan adanya AEOI tahun depan, maka semuanya akan terbuka, dan tidak perlu saat ini kita mengemis-ngemis dengan adanya pengampunan pajak.
(3) Kekeliruan yang menyangkut substansi UU No. 11/2016
Jika diliihat secara utuh, substansi UU No. 11/2016 lebih mencerminkan pragmatis pemerintah dalam menyikapi para wajib pajak yang tidak taat. Dikarenakan pemerintah tidak mampu mengejar mereka, maka pemerintah memilih jalan “damai” dengan mereka yang selama ini tidak taat pajak.
(4) Kekeliruan yang timbul sebagai dampak UU No. 11/2016
Pengampunan pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, yang selama ini tidak dibayar oleh orang yang tidak taat pajak. Hal ini tidak relevan bagi wajib pajak yang taat pajak. Anehnya, dalam beberapa minggu terakhir kita menyaksikan para peserta pengampunan pajak tampil di public dan bahkan memberikan pernyataan-pernyataan ke media massa, seolah-olah mereka adalah para pahlawan baru yang selesai melaksanakan tugas suci untuk negara. Pemerintah juga membuat pernyataan seolah-olah telah membuat prestasi yang luar biasa dalam pengampunan pajak. Pemerintah juga menyatakan bahwa tax amnesty Indonesia adalah yang paling sukses dibanding negara lain. Jika kita kembali ke awal, ke ketentuan UUD 1945 dimana pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa, artinya selama ini pemerintah telah gagal melaksanakan amanah konstitusi kita, dan mengapa sekarang mereka malah bangga? Kenapa? Karena semakin besar jumlah dari pengampunan pajak, artinya semakin besar pula kebobolan pemerintah dari penerimaan pajak.
Jadi, dengan demikianlah waktu itu saya mengatakan, “para hakim yang mulia, saya mohon agar UU ini dibatalkan, atau minimal di koreksi. Namun karena pembatalan undang-undang ini juga memiliki implikasi ekonomi, saya memohon agar hakim-hakim dapat memberi jalan tengah sehingga implikasi negatif dari pembatalan atau revisi undang-undang ini dapat diminimalisasi.”