Pariwisata Halal: Strategi Penguatan Sektor Maritim di Daerah 3T

Oleh : Romadhon Falaqh dan Ari Setiawan (Staf Departemen Riset dan Pengembangan)

 

Perekonomian Indonesia tidak dapat hanya mengandalkan sektor komoditas semata. Meski Indonesia adalah negara tropis dan kaya sumber daya alam, status sebagai negara maritim seharusnya juga turut dikelola untuk memperkuat sendi perekonomian, terutama di daerah-daerah 3T (tertinggal, terluar, dan terdepan). Tren pelemahan harga beberapa komoditas (batubara, sawit, dan karet) di pasar global akhir-akhir ini, mengancam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Maka dari itu, Indonesia harus mulai mengurangi ketergantungan pada sektor komoditas dengan penguatan sektor maritim yang salah satunya adalah mengembangkan pariwisata halal sebagai manifestasi pembangunan yang berkelanjutan.

Kementerian Perdagangan (2016) mencatat adanya penurunan nilai ekspor rata-rata keseluruhan komoditas (nonmigas)  dalam rentang 2011 – 2015 sebesar 4%. Inilah sebabnya, sektor komoditas mengancam perekonomian Indonesia ke depan. Berbeda kondisinya dengan sektor pariwisata, sektor ini terakhir Juli 2016 (BPS, 2016), menorehkan kenaikan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) sebesar 17,68 persen year on year. Bahkan dari 2011 hingga 2015, kunjungan wisman naik setiap tahunnya (BPS, 2015). Hal ini menunjukkan bahwa bidang pariwisata menyumbang cukup besar pada percepatan pertumbuhan ekonomi (Santi dan Sinta, 2016).

Pada perkembangan dunia pariwisata sekarang, subsektor pariwisata halal menunjukkan tren positif. Subsektor ini tercakup empat tipe bisnis di dalamnya, yaitu hotel, restoran, agen kepariwisataan, dan spa (Santi dan Sinta, 2016). Pariwisata halal juga merupakan bagian dari pasar konsumen global untuk sharia-compliant goods meliputi kuliner, produk farmasi dan fashion (Oxford Analytica, 2016). Sesuai dengan rumusan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dan Badan Pelaksana Harian (BPH) Dewan Syariah Nasional, pariwisata syariah memiliki kriteria sebagai berikut:

  1. Berorientasi pada kemaslahatan umat
  2. Berorientasi pada pencerahan, penyegaran, dan ketenangan
  3. Menghindari kemusyrikan dan kurafat
  4. Menghindari maksiat seperti zina, pornografi, pornoaksi, minuman keras, narkoba dan judi
  5. Menjaga perilaku, etika, dan nilai luhur kemanusiaan seperti menghindari perilaku hedonis dan asusila
  6. Menjaga amanah, keamanan, dan kenyamanan
  7. Bersifat universal dan inklusif
  8. Menjaga kelestarian lingkungan
  9. Menghormati nilai-nilai sosial-budaya dan kearifan lokal.

Di Indonesia, baru terdapat sepuluh provinsi yang telah mempromosikan pariwisata halal yakni, Aceh, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Barat dengan tambahan provinsi Jawa Timur dan D.I. Yogyakarta. Walau demikian, Kemenparekraf telah membentuk tim percepatan pengembangan pariwisata halal (TP3H). Pembentukan tim ini tepat, sebab region Asia Tenggara dalam indeks global muslim travel 2016, memiliki rating yang tinggi, bahkan benua Asia secara total menempati rerata indeks tertinggi di dunia. Tentulah Indonesia berada dalam persaingan ketat, khususnya di kawasan ASEAN, contoh saja negara Jiran yang diproyeksikan akan menjadi pusat benchmark pariwisata halal global (Oxford Analytica, 2016).

Demi perwujudan dominasi global, pariwisata halal di Asia Tenggara, perlu untuk diangkat standarnya di bidang infrastuktur (terdiri dari fasilitas dan layanan), kuliner (terdiri dari ritel dan supply), dan teknologi (Oxford Analytica, 2016). Hal itu menunjukkan bahwa pariwisata halal membutuhkan suntikan investasi. Investasi semacam ini cocok dengan pembiayaan syariah. Pasalnya, pariwisata halal berkriteria sesuai syariah maka dalam pembiayaan, alangkah pantasnya bila menggunakan pembiayaan yang berlandaskan pula prinsip syariah. Dengan begitu, subsektor ini menjadi alternatif investasi yang pontensial bagi lembaga keuangan syariah, serta ziswaf (zakat, infaq, sedekah, dan wakaf).

Di sisi lain, pengelolaan maritim di Indonesia masih minim. Pengelolaan ini dapat diwujudkan melalui sektor perikanan dan pariwisata. Khusus di sektor pariwisata, minimnya pemanfaatan kemaritiman ditunjukkan dengan jumlah taman wisata alam (TWA) di darat, yang lebih besar daripada yang di laut. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2015) telah merekap ada 101 TWA darat dan empat belas TWA laut. Maka dari itu, sektor maritim butuh penguatan antara lain dengan pengembangan pariwisata halal, terutama di daerah-daerah 3T. Indonesia yang sebagian besar berbataskan dengan laut, mengakibatkan daerah 3T memiliki kesempatan besar untuk memperkuat kemaritimannya seperti di Kabupaten Supiori, Papua dan Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.

Mengutamakan sektor pariwisata khususnya subsektor pariwisata halal, sama saja menempatkan sebuah faktor pendorong pertumbuhan ekonomi yang prospektif di daerah 3T. Berbeda halnya dengan sektor komoditas, sektor ini sangat rentan dengan volatilitas pasar global. Selain prospektif, dengan pariwisata halal, pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan dapat tercapai. Hal ini disebabkan oleh kriteria pariwisata halal yang sangat memerhatikan kelestarian lingkungan. Risiko perusakan lingkungan sebagai akibat pembangunan di daerah 3T, dapat terminimalisasi secara otomatis, ketika rancang bangun pariwisata halal terealisasi. Artinya, pembangunan semacam ini selaras dengan semangat pembangunan berkelanjutan.

Kesimpulannya, Indonesia sebaiknya mengurangi ketergantungan pada sektor komoditas. Di balik itu, sektor pariwisata khususnya pariwisata halal dapat menjadi fokus perekonomian nasional. Hal ini didukung oleh tren positif pariwisata halal global, khususnya di tingkat Asia Tenggara. Tren positif tersebut direspons tepat dengan dibentuknya TP3H. Tim ini diharapkan mampu meningkatkan daya saing pariwasata halal nasional selama era masyarakat ekonomi ASEAN ini. Bersamaan dengan itu, pengelolaan bidang maritim masih minim. Pengembangan pariwisata halal dapat menjadi salah satu strategi penguatan di bidang ini, sembari mewujudkan pembangunan berkelanjutan di daerah 3T. Pasalnya, pariwisata halal merupakan subsektor pariwisata yang potensial disertai kriterianya yang pro pembangunan berkelanjutan. Jadi, pengembangan pariwisata halal di daerah 3T, dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas pariwisata halal nasional yang berakibat baik pada daya saing, sekaligus memperkokoh bidang maritim dengan tetap berorientasi pada pembangunan berkelanjutan.

Referensi:

BPS. (2015, August 19). Jumlah Kedatangan Wisatawan Mancanegara ke Indonesia Menurut Pintu Masuk, 1997-2014. Retrieved from http://bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1387 . Terakhir diakses 4 September 2016, 17.43 WIB

BPS. (2016, September 9). Wisatawan Mancanegara bulan Juli mencapai 1,03 Juta Kunjungan. Retrieved from http://bps.go.id/Brs/view/id/1062 . Terakhir diakses 4 September 2016, 17.50 WIB

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2015). STATISTIK KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN 2014. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kementerian Perdagangan. (2016). Perkembangan ekspor nonmigas (komoditi) periode 2011 – 2016. Retrieved from http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-export-import/growth-of-non-oil-and-gas-export-commodity. Terakhir diakses 11 September 2016, 12.21 WIB

Santi, M. A., & Sinta, K. A. (2015). Marketing strategy implementation in developing sharia tourism in Indonesia. Paper presented at the, 84 133-137. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/1691986019?accountid=13771. Terakhir diakses 4 September 2016, 17.54 WIB

SOUTH-EAST ASIA: Halal tourism growth needs investors. (2016, Apr 19). Oxford Analytica Daily Brief Service. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/1781819072?accountid=13771. Terakhir diakses 4 September 2016, 18.03 WIB

Scroll to Top