Tanggal : 16 November 2016
Moderator : Adhitya Kusuma Z.
Pembicara : Dwi Ardianta Kurniawan, S.T., M.Sc. dan Esa Azali A.
Notulen : Hasibuana Laras Kinanti
Labeling syariah dalam bidang ekonomi saat ini lebih dikenal melekat dengan sektor finansial atau keuangan, misalnya adalah bank syariah, saham syariah, dan lain sebagainya. Namun demikian, labeling syariah juga dapat diberikan untuk sektor di luar keuangan, seperti parawisata syariah atau yang lebih dikenal dengan halal tourism yang sedang mulai tumbuh beberapa waktu belakangan. Istilah yang masih asing bagi masyarakat kita adalah labeling syariah pada bidang transportasi. Lalu bagaimana penerapan nilai-nilai syariah dalam sub sektor transportasi ini?
Sebelum membahas lebih dalam mengenai topik ini, yang pertama kali perlu kita ketahui adalah definisi dari transportasi. Transportasi merupakan pemindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dalam waktu tertentu dengan menggunakan sebuah kendaraan yang digerakkan oleh manusia, hewan, maupun mesin (Morlock, 1978). Transportasi merupakan kebutuhan turunan (derived demand), dipengaruhi oleh kebutuhan manusia untuk bepergian dengan berbagai tujuan perjalanan dan kebutuhan barang untuk dikonsumsi di tempat lain. Terdapat tiga moda transportasi, yaitu udara, darat, dan air. Masing-masig dari moda tersebut memiliki karakteristik yang berbeda sehingga memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Segmen pasar dari transportasi terbagi sesuai dengan kecepatan tiap moda dan kemampuan konsumen untuk menjangkau harga pasar dari tiap transportasi yang ada.
Beberapa faktor yang menjadi latar belakang penerapan sub sektor ini adalah adanya fakta bahwa jumlah penumpang transportasi umum baik darat, air, dan udara mengalami trend naik. Salah satu hal yang menyebabkan kenaikan konsumen ini adalah peningkatan kualitas transportasi yang disediakan, misalnya saja kereta api yang belakangan ini terus diperbaiki kualitas layanan dan fasilitasnya oleh pemerintah. Selain itu, permintaan produk halal baik di Indonesia maupun di tingkat global mengalami peningkatan. Kemudian, belakangan ini muncul konsep taat syariah (shariah compliant) di berbagai negara. Dalam bidang transportasi seperti yang sedang kita bahas, contohnya adalah Rayani Air di Malaysia. Dalam hal utiltas atau kepuasan, yaitu kaitannya dengan teori konsumen, terdapat perbedan konsep rasionalisme antara ekonomika islam dan konvensional. Bagi umat muslim, kesejahteraan (falah) dicapai melalui setiap aktivitas individu termasuk konsumsi yang sesuai dengan sharia-compliant ethics and faith values (Ghassan, 2015). Dari hal tersebut dapat disimpukan bahwa Individu muslin sangat mempertimbangkan perihal kehalalan, dengan kepuasan berdasarkan ketaatan pada aturan Islam.
Berbeda dengan beberapa konsep di bidang lain yang sudah memiliki standar baku sharia compliant, jasa transportasi syariah belum memiliki standard baku. Namun demikian, terdapat konsep yang dapat menjadi benchmark dalam penerapannya, yaitu konsep pariwisata halal. Dalam kaitannya dengan pariwisata halal, salah satu konsep yang ada di dalamnya adalah hotel syariah. Konsep hotel syariah menurut Din (1982) adalah adanya pemenuhan kebutuhan dasar muslim seperti kebutuhan ibadah salat, logistik yang bebas makanan dan minuman haram, serta pemerhatian penuh perihal kemahraman antara pria dan wanita. Menurut Rosenberg dan Choufany (2009), konsep ini berfokus pada operasional, desain interior, dan manajemen finansial islami, misalnya memerhatikan keselamatan umum, tidak ada gambar manusia terpampang, dan rutin berzakat. Henderson (2010), berfokus pada sumber daya insani, misal staf wanita yang tertutup auratnya.
Pada riset yang telah diselenggarakan, terdapat beberapa hal yang diteliti dalam kaitannya dengan atribut transportasi halal, yaitu hal yang berkaitan dengan pegawai, konfigurasi tempat duduk di dalam kendaraan, waktu keberangkatan dan kedatangan, dan ketersediaan panduan safar. Riset ini menunjukan bahwa dalam perihal kepegawaian, konsumen lebih menaruh preferensi agar jasa transportasi mempekerjakan pria dan wanita yang mengenakan hijab. Konfigurasi kursi bagi konsumen, diakui lebih nyaman dengan pemisahan antara tempat duduk pria dan wanita. Di samping itu, mereka juga akan lebih memilih transportasi yang mengakomodasi waktu solat mereka. Dan yang terakhir konsumen akan lebih cenderung memilih jasa transportasi yang menyediakan panduan safar untuk mereka.
Atribut dalam transportasi syariah yang lebih diutamakan konsumen adalah perihal pengakomodasian waktu solat, mengingat ini merupakan hal yang paling penting dalam aktivitas keseharian umat muslim. Prioritas selanjutnya adalah pegawai wanita yang berhijab, pemisahan tempat duduk berdasarkan gender, dan yang terakhir adalah penyediaan panduan safar.
Apabila melihat dari faktor agama, umat muslim menaruh preferensi lebih besar dibanding umat non-muslim dalam hal pengakomodasian waktu solat dan penyediaan panduan safar. Sedangkan dari faktor gender, utilitas wanita lebih besar dari laki-laki dengan kaitannya dalam hal pegawai wanita berhijab dan pemisahan tempat duduk antara pria dan wanita.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dari sisi konsumen, transportasi dengan ketaatan syariah lebih diminati daripada transportasi yang kurang atau tidak memperhatikan atribut yang seharusnya ada dalam transportasi syariah. Namun demikian, pasar tidak hanya tercipta oleh preferensi konsumen. Pasar hanya akan tecipta dengan produsen sebagai komponen penyedia komoditasnya. Menyoal posisi produsen yang juga penting dalam kedudukan pasar, perlu juga dilakukan riset dari sisi produsen. Bagaimanakah preferensi produsen terhadap sharia compliance pada transportasi umum di Indonesia?