Oleh: Lina Mufidah
Di tengah carut-marutnya perekonomian sebagai imbas dari wabah COVID-19, pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai regulasi fiskal untuk menjaga pemasukan negara, dengan tetap menjaga daya beli masyarakat. Usaha pemerintah dalam menjaga kestabilan ekonomi ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Diseases 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Lewat regulasi ini, pemerintah memberlakukan relaksasi pajak bagi pekerja sektor industri pengolahan melalui PPh 21, pembebasan PPN Impor bagi Wajib Pajak Kemudian Impor Tujuan Ekspor (KITE), terutama KITE dari kalangan industri kecil dan menengah pada 19 sektor tertentu, pengurangan tarif PPh sebesar 25% bagi Wajib Pajak KITE pada sektor tertentu, percepatan restitusi PPN, penurunan tarif PPh Badan menjadi 22%. Dalam Perpu ini juga diatur perpajakan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yang pengenaannya melalui dua skema, yaitu lewat PPN dan PPh. Lewat regulasi baru ini, tentu tidak dapat diragukan bahwa pemerintah berusaha memberikan stimulus bagi dunia usaha, sehingga menjaga pemasukan bagi negara. Namun, barangkali ada satu opsi regulasi fiskal yang dilewatkan oleh pemerintah, yaitu menggencarkan pengenaan pajak bagi orang-orang kaya di Indonesia.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Forbes, kekayaan orang-orang terkaya di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Forbes pada 2019 mencatat aset bersih 50 orang terkaya Indonesia mencetak rekor baru dengan total kekayaan USD134,6 miliar atau naik USD5,6 miliar dari tahun lalu. Namun, berdasarkan data Ditjen Pajak tahun 2017, kontribusi konglomerat ini hanya sebesar 0,8% dari total penerimaan pajak Indonesia.
Dilansir dari CNBC Indonesia, RAPBN pada 2020 ditargetkan sebesar Rp2.221, 54 T. Pada RAPBN ini, penerimaan pajak diperkirakan mencapai Rp1.819,2 T atau sebesar 83,8% dari APBN. PPh merupakan komponen terbesar dalam penerimaan pajak yang pada tahun 2019 memberikan sumbangsih sebesar 13,3% dari outlook APBN 2019 atau sebesar 818,6 T. Dari PPh tersebut, PPh karyawan memberikan sumbangsih terbesar yaitu senilai Rp555,63 triliun atau sebesar 21,79% bagi realisasi PPh nonmigas.
Melalui data di atas, dapat dilihat terjadinya ketidakadilan bagi para pekerja kelas menengah yang menyumbangkan PPh sebesar 21,79%, sementara kontribusi pajak konglomerat kurang dari 1%. Padahal, menurut Kristiaji, peneliti perpajakan DDTC Fiscal Research, di banyak negara, kontribusi para konglomerat dapat mencapai 30-40% kepada pemasukan pajak atau paling tidak melalui PPh. Kesenjangan ini juga menunjukkan masih belum terwujudnya asas keadilan dalam perpajakan di Indonesia, yang sejatinya, pajak berfungsi sebagai redistribusi pendapatan dari masyarakat dengan pendapatan tinggi kepada masyarakat yang berpendapatan lebih rendah.
Menurut pengamat perpajakan, rendahnya kontribusi pajak orang-orang kaya disebabkan karena permasalahan kepatuhan. Berbeda dengan karyawan dan PNS yang gajinya akan langsung dipotong pajak, pembayaran pajak oleh konglomerat ini membutuhkan kesadaran pribadi masing-masing. Hal ini diperparah dengan sikap pemerintah yang tidak memberikan perhatian khusus dalam mengejar pemungutan pajak bagi para konglomerat. Padahal, para konglomerat ini memiliki akses yang lebih baik kepada konsultan, pakar keuangan, juga orang-orang politik. Minimnya kontribusi pajak oleh orang-orang kaya di Indonesia ini dinilai Kristiaji disebabkan ada masalah dalam administrasi pajak atau kepatuhan pribadi konglomerat tersebut yang seharusnya menjadi tantangan bagi pemerintah untuk menanganinya.
Di Indonesia sendiri saat ini, tidak mengenal pajak kekayaan. Pajak yang dikenakan kepada para konglomerat adalah PPh 25 dan 29, yaitu PPh nonkaryawan, lebih tepatnya bagi pemilik usaha dan pekerja bebas. Sementara, pajak atas kekayaan di Indonesia sendiri, menurut Kristiaji, terbagi ke dalam beberapa jenis, misalnya PBB (ketika kekayaan ditahan dalam bentuk tanah dan bangunan), pajak ketika suatu asset dijual dan memperoleh nilai tambah. Namun, tidak semua transaksi di Indonesia diberlakukan capital gain tax, kebanyakan masih bersifat final tax.
Capital gain tax sendiri hingga saat ini masih banyak menimbulkan kontroversi. Di Amerika Serikat, Partai Demokrat terus menggaungkan pemerataan pendapatan melalui pajak bagi orang kaya yang diwujudkan dalam peningkatan capital gain tax dan tarif pajak penghasilan bagi orang-orang dengan penghasilan teratas. Namun, hal ini ditentang karena pengenaan capital gain tax yang tinggi—yang memang secara langsung hanya dikenakan pada wajib pajak konglomerat—dinilai dapat mengarah pada penurunan investasi dan penurunan produktivitas, hingga akhirnya akan berdampak ke para pekerja dalam bentuk gaji yang lebih kecil. Selandia Baru adalah salah satu negara yang gagal dalam memberlakukan capital gain tax. Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, yang meyakini bahwa penerapan capital gain tax dapat mengatasi isu ketidakadilan dalam sistem perpajakan, menyatakan bahwa wacananya ini tidak berhasil diterapkan karena besarnya penolakan dari warga Selandia Baru.
Terlepas dari tidak adanya bentuk khusus bagi pajak kekayaan di Indonesia, nyatanya potensi besarnya pemasukan pajak dari konglomerat ini tidak bisa disepelekan oleh pemerintah, bahkan jika pemungutan hanya difokuskan pada PPh-nya saja. Mengingat, nominal pajak para konglomerat ini lebih besar dibandingkan dengan wajib pajak biasa. Mungkin saja pajak satu orang kaya setara dengan lima wajib pajak biasa. Hal tersebut tentu menjadi nilai akumulasi yang besar jika dihitung secara nasional.
Pada masa penanganan pandemic COVID-19 ini, penggencaran pajak bagi orang-orang kaya semestinya dapat menjadi salah satu opsi regulasi fiskal pemerintah. Jika skema ini benar-benar diterapkan, tentu fungsi pajak sebagai alat redistribusi pendapatan dapat diwujudkan. Mengingat, kegiatan filantropi yang bersifat sukarela tentu tidak dapat dijadikan sebagai tumpuan utama dari pemerataan pendapatan pada masa pandemi ini. Di samping, pemerintah tentunya memerlukan tambahan sumber pembiayaan selama dan pasca pandemi COVID-19 ini. Skema ini juga disuarakan oleh Partai Australia Hijau (Australian Greens/The Greens) yang mengusulkan pemerintah agar menaikkan tarif pajak bagi wajib pajak orang-orang berpenghasilan kelas kakap setelah pandemi COVID-19 berakhir. Hal senada juga disuarakan oleh Frans Vanistendael, Guru Besar Emiritus Hukum Pajak di Universitas Katholik Leuven dan Akademi Pajak Brussels, Belgia, yang mengutarakan bahwa mungkin akan dilakukan pengaturan ulang pajak atas laba dan pajak capital gains dibandingkan dengan pajak atas tenaga kerja, bagaimana teknisnya tergantung pada struktur sistem pajak nasional.
DAFTAR PUSTAKA
- https://news.ddtc.co.id/dukungan-pajak-orang-kaya-sedikit-berkurang-ada-apa-18362?page_y=3363.333251953125
- https://news.ddtc.co.id/frans-vanistendael-covid-19-pengaruhi-sistem-pajak-internasional-20341?page_y=3217.333251953125
- https://news.ddtc.co.id/ditolak-warga-pajak-capital-gain-dibatalkan-15795?page_y=2802
- https://news.ddtc.co.id/memahami-konsep-capital-gains-sebagai-penghasilan-15850?page_y=3864
- https://news.ddtc.co.id/efek-virus-corona-dpr-usul-orang-kaya-dipajaki-lebih-besar-19745?page_y=2802
- https://news.ddtc.co.id/bill-gates-pemerintah-seharusnya-meningkatkan-pajak-untuk-orang-kaya-18288?page_y=2818
- https://www.pajak.go.id/id/artikel/agar-tak-seperti-seabad-lalu
- https://www.pajak.go.id/artikel/orang-kaya-dan-pajak
- https://ekonomi.bisnis.com/read/20191119/10/1171864/orang-kaya-harus-bayar-pajak-lebih-besar
- https://economy.okezone.com/read/2018/12/17/20/1992339/kontribusi-pajak-orang-kaya-masih-minim-ini-penjelasannya?page=1