Tokoh yang kami kunjungi pada Ketemu Tokoh pada edisi ke 4 ini adalah Bapak Dr. Kuwat Triyana, M.Eng. Beliau merupakan salah dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UGM yang concern dengan penelitian tentang halal dan haramnya sebuah produk. Beliau merupakan anggota dari tim dari Grup Riset Interdisipliner Halal.
Beliau menyampaikan bahwa halal merupakan sebuah problematika yang terjadi di masyarakat. Sistem halal di Indonesia tergolong tidak maju karena tidak ada aturan yang jelas untuk mengaturnya. Di Malaysia penerapan sistem halal jauh lebih tertata dan jelas dalam aplikasinya. Hal ini dikarenakan sistem halal di Malaysia sudah ada di dalam sebuah aturan yang jelas dari pemerintah (top-down system). Hal tersebut berdasarkan hasil pemaparan dari Wold Halal Forum 2013 yang diikuti langsung oleh Pak Kuwat.
Orang-orang Indonesia kebanyakan menganggap bahwa cap haram lebih penting daripada cap halal. Menurut Pak Kuwat, pola pikir seprti itu harus diubah. Halal dan haram bukan lagi masalah dosa dan pahala saja, namun bisa dibuat untuk bisnis sehingga dapat bermanfaat lebih banyak bagi kehidupan bermasyarakat. Pak Kuwat menyampaikan bahwa potensi bisnis halal di dunia ini adalah sekitar 100 kali APBN Indonesia. Sayangnya Indonesia dengan populasi muslim terbesar di dunia belum mampu memaksimalkan kondisi tersebut. Hal ini dikarenakan di kancah Internasional semua hal harus ada status pastinya. Halal bukan masalah makanan saja, bahkan kosmetik dan sistempun ada standar sendiri untuk dapat dikatakan halal.
Mengapa harus ada Undang-undang Halal? Pak Kuwat menuturkan bahwa adanya UU Halal berguna untuk memberikan jaminan assessment halal. Saat ini di Indonesia hanya MUI yang berhak menyatakan sebuah produk halal atau tidak. Pemberian cap halal MUI sebenarnya bagus, namun patut disayangkan bahwa MUI tidak serta merta untuk mengikuti perkembangan produk tersebut. MUI juga masih terbatas dalam hal uji lab untuk beberapa bahan mencurigakan. Ditambah lagi LP POM MUI (Lembaga Penjamin Produk Obat dan Makanan MUI) tidak ada badan yang mengaudit. Hal ini tentunya akan berbeda jika ada sebuah UU yang mengatur tentang Halal. Adanya UU ini sekaligus memperlihatkan peran pemerintah Indonesia dalam mengawal adanya sebuah kejelasan produk yang halal. UGM sendiri sudah siap dengan segala kelengkapan laboratoriumnya untuk turut serta dalam mengawal pengawasan produk halal.
Salim Fauzanul Ihsani (Dept. Kajian SEF UGM)