SEKILAS EKIS : Konseptualisasi Etika Bisnis oleh Al Ghazali

Hubungan antar manusia yang fundamental berkaitan tentang bagaimana kita berpikir dan berperilaku terhadap orang lain dan apa yang kita inginkan tentang pemikiran dan perilaku mereka, dari hal tersebut dapat muncul sebuah penilaian apakah perlakuan tersebut sesuai dengan moral atau tidak berdasarkan prinsip etika yang berlaku. Gagasan tentang baik dan buruknya suatu perilaku datang dari banyak sumber. Institusi keluarga, pendidikan, teman sebaya, kelompok etnis, media elektronik dan internet, merupakan berbagai sumber lahirnya prinsip etika. Akan tetapi, kebanyakan orang menjadikan keyakinan agamanya sebagai sumber utama panduan beretika (Lawrence dan Weber, 2017).
.
Termasuk dalam hal bisnis, banyak muncul pemikiran bagaimana etika yang seharusnya diterapkan di dalamnya. Begitu juga Al-Ghazali melalui kitab Ihya Ulumuddin yang dikarangnya banyak membahas mengenai etika dalam mencari nafkah dan banyak menjadi referensi etika pada dunia bisnis. Meskipun banyak bersumber dari Al-Quran dan Sunnah tetapi Al-Ghazali tetap menggunakan pembenaran rasional. Sidani dan Ariss (2014), menyimpulkan empat konsep yang muncul dari Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali sebagai berikut:

1. Berilmu Sebelum Beramal
Al Ghazali menekankan bahwa jalan untuk mencapai kebaikan dimulai dengan ilmu dan amal.  Seseorang yang bekerja tanpa pengetahuan bagaimana jual-beli yang sesuai hukum yang berlaku, bagaimana cara menghindari riba atau bagaimana membuat kontrak kerja sama yang sah, secara tidak sengaja dapat membawanya ke dalam tindakan yang mengakibatkan dosa. Oleh karena itu, mengetahui peraturan syariah dalam masalah ini wajib, karena mempunyai pengetahuan yang relevan dengan profesi yang akan dijalani sangat diperlukan.  Memperhatikan hukum merupakan kunci penting dari perilaku moral, dan dalam melaksanakannya diperlukan pengetahuan tentang hal itu.

2. Memaksimalkan Keuntungan Bukan Sebuah Kebajikan
Al-Ghazali menganggap bekerja dan mencari nafkah merupakan kebajikan, kemudian beliau mejelaskan bahwa seharusnya tujuan berbisnis adalah mendapatkan cukup penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga membuat seseorang tidak bergantung pada orang lain. Bukan dengan tujuan mendapatlkan kekayaan yang luar biasa dengan cara memaksimalkan keuntungan.  Akan tetapi, jangan terlalu larut dalam berbisnis sehingga mengalihkan sesorang dari kebutuhan spiritualnya karena menurut Al-Ghazali ada lebih banyak kehidupan diluar sekedar mencari uang.

3. Adil dan Peduli Terhadap Stakeholder
Melakukan bisnis dengan benar tidak hanya cukup berpegang berpegang pada syariah, dan kepatuhan hukum tidak menjamin keadilan. Beberapa kontrak yang memenuhi seluruh persyaratan hukum mungkin masih mengandung pelanggaran. Contohnya adalah, pemasaran yang terlalu berlebihan terkadang membuat informasi yang diterima konsumen menjadi asimetris karena tidak menggambarkan kondisi sesungguhnya. Sehingga perlunya sikap adil dan peduli terhadap stakeholder supaya kedua belah pihak sama-sama mendapatkan keuntungan.

4. Mewujudkan kebaikan untuk banyak pihak
Al-Ghazali menggunakan kata Ihsan (kebajikan atau berbuat baik) untuk mengartikan bahwa bisnis tidak hanya selesai untuk memenuhi kepentingan pribadi, tetapi juga memenuhi kebutuhan – kebutuhan sosial. Hal ini dikarenakan ia tidak hanya puas jika bisnis sekadar mematuhi hukum dan pasar tetapi juga mempunyai tanggung jawab sosial berupa berbuat baik lebih dari yang diwajibkan. Contoh hal kecil dari konsep ini adalah memberikan toleransi dalam hubungan

Oleh karena itu, pemisahan aspek bisnis dari nilai dianggap kekeliruan oleh beberapa pihak yang mendorong para pemikir postmodernism untuk melakukan perubahan dan memperkenalkan kembali dimensi moral dalam bisnis pada beberapa dekade terakhir. Al-Ghazali melalui pemikirannya dapat menunjukkan secara menarik bahwa perilaku bisnis yang etis dapat menyeimbangkan kepentingan bisnis dan stakeholders. Penggabungkan dimensi intelektual serta spiritual dapat menjadi alat penalaran yang kompleks dan memungkinkan etika bisnis Islami lebih fleksibel terhadap berbagai dimensi budaya dan waktu.

Referensi:
Lawrence, Anne T, dan James Webber. 2017. Business and Society: Stakeholders, Ethics, Public Policy. New York, NY: McGraw-Hill Education.
Rice, Gillian. 1999. “Islamic Ethics and the Implications for Business.” Journal of Business Ethics; 345.

Sidani, Yusuf, dan Akram Al Ariss. 2015. “New Conceptual Foundations for Islamic Business Ethics: The Contributions of Abu-Hamid Al-Ghazali”. Journal Buiness Ethics 129:847–857”

Scroll to Top