Oleh: Saefu Robani
Akhir-akhir ini, terdapat perkembangan konsensus yang menganggap bahwa pemberian uang tunai secara langsung adalah cara terbaik dalam mengentaskan kemiskinan. Hal ini tercermin dari banyaknya lembaga otoritas maupun nirlaba yang memiliki program bantuan langsung tunai dalam upaya menanggulangi kemiskinan.
Sebagai contoh, pemerintah Indonesia telah memberikan stimulus sebesar Rp31 triliun untuk membantu keluarga yang hilang mata pencaharian di masa pandemi dalam bentuk bantuan langsung tunai (Kementerian Keuangan, 2020).
Terlebih lagi, organisasi internasional seperti World Bank, USAID, dan PBB juga mendanai lebih banyak proyek pembangunan ekonomi yang berfokus pada pemberian uang tunai (Henderson, 2021).
Lantas, apakah permasalahan kemiskinan dapat diatasi cukup dengan pemberian uang tunai secara langsung? Walaupun bantuan tunai terbukti efektif hingga pada tingkatan tertentu, pemberian tunai memiliki banyak keterbatasan dalam menghadapi persoalan kemiskinan yang sangat kompleks.
Limitasi dari Pemberian Tunai Langsung
Terdapat bukti bahwa bantuan tunai memiliki dampak positif pada orang-orang yang hidup dalam kemelaratan. Misalnya, sebuah tinjauan terhadap 165 penelitian menemukan bahwa bantuan tunai cenderung dapat meningkatkan pengeluaran untuk makanan dan kebutuhan pokok lainnya serta meningkatkan taraf pendidikan dan juga kesehatan (Bastagli et. al, 2018).
Akan tetapi, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan primer dan konsumtif tersebut tidaklah cukup untuk menyimpulkan bahwa pemberian tunai langsung merupakan solusi terbaik secara jangka panjang.
Terdapat beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian bantuan tunai tidak memiliki dampak yang signifikan dan bahkan secara statistik efeknya mendekati nol dalam jangka panjang (Millán et. al, 2019; Blattman et. al, 2020). Hal ini mengimplikasikan bahwa bantuan tunai hanya menimbulkan efek positif yang sifatnya instan dan sementara.
Kemudian, program bantuan tunai tidaklah mengatasi masalah struktural yang mendasari permasalahan kemiskinan, seperti kesulitan untuk mengakses modal (Kim, 2015).
Masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap jasa keuangan atau perbankan kesulitan untuk menabung, memulai bisnis, memulihkan diri dari kerugian yang tidak terduga, dan merencanakan masa depannya sehingga akan terus terjerat di dalam kemiskinan.
Akses terhadap layanan keuangan dapat berfungsi sebagai jembatan untuk keluar dari kemiskinan. Lantas, bagaimanakah cara yang terbaik untuk mengentaskan kemiskinan sekaligus menuntaskan akar permasalahan yang mendasarinya? Barangkali jawabannya adalah dengan membiayai orang-orang yang tidak mampu melalui pembiayaan kredit untuk mendanai kegiatan produktifnya.
Pembiayaan Mikro Syariah sebagai Solusi Alternatif
Berdasarkan prinsip keuangan konvensional, ada berbagai alasan yang mendasari lembaga keuangan untuk tidak meminjamkan dana terhadap orang-orang yang tidak mampu. Mereka memiliki risiko yang tinggi untuk tidak melunasi hutangnya karena tidak ada jaminan aset ataupun penghasilan yang tetap sehingga mereka dianggap tidak layak untuk dikomersialisasikan.
Konsep microfinance lahir sebagai antitesis dari pandangan konvensional di industri keuangan yang menghindari pembiayaan terhadap masyarakat miskin. Microfinance adalah cara alternatif bagi masyarakat miskin untuk mengakses keuangan yang relatif lebih terjangkau daripada perbankan konvensional dan merupakan sumber utama pembiayaan bagi populasi dunia yang tidak punya akses kepada perbankan ataupun jasa keuangan, dengan total $124 miliar (Rp1.800 triliun) dana pinjaman yang disalurkan kepada lebih dari 140 juta penduduk global (Sun, 2020).
Gerakan ini dipopulerkan oleh Muhammad Yunus melalui lembaga nonprofitnya, Grameen Bank. Dialah yang memprakarsai berdirinya institusi microfinance (MFI) setelah menyaksikan sendiri bahwa pinjaman kecil terhadap komunitas pengrajin mampu mendorong produktivitas yang lebih baik terhadap usaha kecil mereka sehingga mereka mampu melunasi utang dan di saat yang bersamaan mengelola usaha mereka secara independen dan bahkan berekspansi. Ketika pinjamannya dikembalikan, uang itu disalurkan kembali kepada orang lainnya yang membutuhkan, membuat lebih banyak orang keluar dari perangkap kemiskinan.
Pada intinya, program ini memberikan pinjaman kecil tanpa agunan kepada orang-orang di bawah garis kemiskinan untuk terlibat dalam proyek-proyek wirausaha yang dapat menghasilkan keuntungan. Hal tersebut tidak dimaksudkan untuk mendanai kegiatan konsumtif pribadi, melainkan untuk memunculkan siklus pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan (Yunus, 2007).
Muhammad Yunus, atas kontribusinya, dianugerahi dengan penghargaan nobel dan juga dijuluki sebagai ‘bapak microfinance’ dan ‘bankirnya orang miskin’.
Model pembiayaan ini juga dapat diadopsi berdasarkan akad syariah. Bahkan, Abdul Rahman (2007) berpendapat bahwa pembiayaan mikro syariah adalah komponen yang hilang dalam perbankan syariah yang seringkali dikritik karena tidak sesuai dengan syariah dan tidak memenuhi maqashid syariah di dalam komersialisasinya (Moqbel, 2014).
Microfinance Syariah mempromosikan pengentasan kemiskinan, perbaikan ekonomi, peningkatan kondisi sosial masyarakat, distribusi dan sirkulasi kekayaan, dan peningkatan kemampuan intelektual masyarakat yang selaras dengan prinsip-prinsip utama di dalam maqashid syariah (Alkhan & Hassan, 2020).
Bagaimanapun juga, terdapat banyak studi yang mengkritisi efektivitas praktik microfinance di dalam upaya pengentasan kemiskinan (Wykstra, 2019). Kendati demikian, gagasan ini sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa dalam upaya kita untuk memerangi kemiskinan, menyalurkan dana sebanyak-banyaknya kepada orang-orang yang membutuhkan tidaklah cukup. Perlu adanya komitmen usaha yang melibatkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membantu sesama kita yang terperangkap di dalam kemiskinan demi kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat.
Referensi
Abdul Rahman. (2007). Islamic microfinance: A missing component in Islamic banking. Kyoto: Kyoto Bulletin of Islamic Area Studies pp. 38-53.
Alkhan, A. M., & Hassan, M. K. (2021). Does Islamic microfinance serve maqāsid al-shari’a? Borsa Istanbul Review, 21(1), 57–68. https://doi.org/10.1016/j.bir.2020.07.002
Bastagli, F., Hagen-Zanker, J., Harman, L., Barca, V., Sturge, G., & Schmidt, T. (2018). The Impact of Cash Transfers: A Review of the Evidence from Low- and Middle-income Countries. Journal of Social Policy, 48(03), 569–594. https://doi.org/10.1017/s0047279418000715
Blattman, C., Fiala, N., & Martinez, S. (2020). The Long-Term Impacts of Grants on Poverty: Nine-Year Evidence from Uganda’s Youth Opportunities Program. American Economic Review: Insights, 2(3), 287–304. https://doi.org/10.1257/aeri.20190224
Henderseon, H. (2021). Why cash payments aren’t always the best tool to help poor people The Conversation. https://theconversation.com/why-cash-payments-arent-always-the-best-tool-to-help-poor-people-156019
Kementerian Keuangan. (2020). Aturan Baru BLT Desa: Lebih Sederhana dan Besaran Naik. Kementerian Keuangan. https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/aturan-baru-blt-desa-
lebih-sederhana-dan-besaran-naik/
Kim, J. Y. (2015). End extreme poverty? Let’s start with financial access for all. World Bank. https://blogs.worldbank.org/voices/end-extreme-poverty-lets-start-with-financial-access-for-all
Millán, T. M., Barham, T., Macours, K., Maluccio, J. A., & Stampini, M. (2019). Long-Term Impacts of Conditional Cash Transfers: Review of the Evidence. The World Bank Research Observer, 34(1), 119–159. https://doi.org/10.1093/wbro/lky005
Moqbel, (2014). Evaluating the shariah compliance and operationalising Maqasid Al shariah: The case for Islamic project finance contracts (Doctoral thesis, Durham University, Durham, England). Diambil dari https://oatd.org/oatd/record?record=%22oai%5C%3Aetheses.dur.ac.uk%5C%3A10872%22
Sun, S. L., & Liang, H. (2021). Globalization and affordability of microfinance. Journal of Business Venturing, 36(1), 106065. https://doi.org/10.1016/j.jbusvent.2020.106065
Wykstra, S. (2019). Microcredit was a hugely hyped solution to global poverty. What happened?. Vox. https://www.vox.com/future-perfect/2019/1/15/18182167/microcredit-microfinance-poverty-grameen-bank-yunus (diakses 6 Juni 2021)
Yunus, (2007). Creating a World without Poverty. New York: Public Affairs.