Notulensi Kajian Fikih Muammalah
Kamis 15 September 2016
Pemateri: Abdul Qoyum, SEI, M.Sc.Fin
Pembahasan mengenai Islamic hedging atau lindung nilai syariah di Indonesia bermula ketika BI mengajukan fatwa tahun 2012. Hal ini dikarena desakan kebutuhan pada industri keuangan. Perbankan syariah sangat membutuhkan hedging berupa instrumen derivatif untuk melindungi bisnis dari risiko nilai tukar yang fluktuatif. Pembahasan fatwa mengenai lindung nilai syariah ini mengalami perdebatan sengit di DSN MUI, sebagian ulama anggota DSN berpendapat tidak perlu menganggap transaksi ini karena sudah sangat jelas bertentangan dengan syariat. Namun sebagian ulama berpendapat sebaliknya, karena melihat kebutuhan masyarakat terhadap transaksi lindung nilai syariah.
Menjawab permasalahan tersebut kemudian diterbitkan Fatwa DSN no 96 tahun 2015 tentang transaksi lindung nilai syariah ( attahawut fil islami) atau Islamic hedging. Dalam fatwa tersebut DSN mengatakan transaksi forward (salah satu bentuk transaksi lindung nilai) tidak boleh kecuali ada kebutuhan mendesak pada masyarakat. Menurut fatwa DSN no 28 tahun 2002 transkasi bay as-sharf atau valas harus on the spot. Sedangkan transaksi forward tidak dapat dilakukan kecuali dalam keadaan dharurat.
Fatwa mengenai produk derivatif dibutuhkan sebagai pendukung manajemen resiko dalam bisnis. Salah satu contoh kebutuhan penggunaan Islamic hedging ketika perusahaan biro haji mendapatkan penerimaan dalam bentuk rupiah, sementara biaya operasional bisnis dibayarkan dalam bentuk dollar. Apabila rupiah mengalami depresiasi maka perusahaan biro haji akan mengalami kerugian bahkan terdapat kemungkinan perusahaan mengalami kebangkrutan. Resiko seperti ini tidak hanya dihadapi oleh biro haji saja, namun semua industri bisnis baik bisnis syariah maupun non syariah.
Pendapat ahli fiqih mengenai instrumen derivatif.
- Future:
Para ahli fiqih memiliki pendapat beragam mengenai transaksi future. Omam Al Haramaini Al Juairi berpendapat intrumen future halal jika didasari kondisi darurat dan untuk memenuhi kebutuhan umat. Sedangkan menurut Syariah Advisory Council Malaysia, future dibolehkan asalkan underlying asset yang digunakan halal. Sebaliknya Ustad Ahmad Alam, Islamic Fiqh Academy, dan Mufhti Taqi Usmani memfatwakan haram transaksi future.
- Option
Sama dengan transaksi future, terdapat perbedaan pendapat tentang fatwa transaksi ini. Pendapat yang membolehkan opsi mengqisyaskan transaksi ini dengan dua akad yaitu khiyar yaitu hak untuk meneruskan dan membatalkan transaksi dan bay al urbun atau transaksi dengan down payment. Abu Sulayman & Islamic Fiqh Academy memperolehkan transaksi opstion. Sedangkan Mufhti Taqi Usmani memberikan fatwa haram terhadap transaksi option karena cenderung mengarah ke perjudian. Sedangkan Syariah Advisory Council Malaysia membolehkan option asalkan mekanismenya menggunakan mekanisme warrant.
Di Indonesia, fatwa mengenai transaksi lindung nilai syariah diatur dalam fatwa DSN no 96 tahun 2015. Beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk transaksi lindung nilai syariah adalah:
- Tidak didasari spekulasi
- Terdapat underlying transaction
- Di dahului dengan perjanjian forward
- Dokumen perjanjian forward tidak boleh diperjuabelikan
- Nilai nominal perjanjian forward paling banyak senilai underlying transaction
- Nilai tukar dan perlindungan nilai tukar dilakukan saat awal perjanjian forward
- Tidak bertentangan dengan syariah
Meskipun DSN telah mengeluarkan fatwa mengenai transaksi lindung nilai syariah, namun aturan mengenai teknis pelaksanaan transaksi saat ini masih belum jelas. Dalam fatwa no 96 tahun 2015 diatas masih belum membahas mengenai tata penentuan harga, denda, maupun akad yang digunakan. Sehingga saat ini transaksi mengenai lindung nilai syariah masih belum sepenuhnya sempurna dan belum siap untuk dipraktekkan.
Oleh: Dept Keilmuan dan Kajian Intelektual SEF UGM