Riba di Antara Kita

10575243_558155114290066_2177710803753091549_o

Notulensi Kajian Kontemporer ke-4

oleh: Irfan Nursasmita

Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Manusia memerlukan manusia lain. Itulah yang mendasari terjadinya interaksi antar manusia. Interaksi tersebut perlu diatur agar tidak ada kekacauan karena nafsu dan sifat ingin menang sendiri. Disini nampak bahwa agama diperlukan untuk mengatur kehidupan manusia sehingga dalam interaksi semua mendapat manfaat dan tidak ada yang dirugikan.

Dalam hubungan antar manusia kita mengenal adanya istilah muamalah yang berhubungan dengan usaha manusia untuk mendapatkan keperluan kehidupan jasmaniah dengan cara sebaik-baiknya sesuai dengan ajaran, aturan dan tuntunan agama Islam. Muamalah bersangkutan dengan urusan duniawi seperti urusan perdagangan, jual beli, tukar-menukar, pinjam-meminjam dan sebagainya.

Kita harus kembali mengingat apa tujuan manusia diciptakan. Dalam Q.S Adz-Dzariyat ayat 56 :

Tidak Aku (Allah) jadikan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku. Begitupula saat manusia berusaha memenuhi kebutuhannya harus berdasar ibadah.

Rumus yang berlaku yakni: Berdagang itu untuk ibadah, mendapatkan laba untuk ibadah. Sedangkan berdagang untuk uang itu payah. Manusia tidak akan puas dan sulit bersyukur.

Satu hal yang menjadi sorotan yakni masalah riba. Definisi sederhana mengenai riba yakni menggelembung.

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.“ (Al-Baqarah:275)

Riba memang menjalar di sekitar kita. Salah satu cerita yang bisa menggambarkan betapa sepelenya urusan namun sesungguhnya berujung laknat yakni riba. Pada suatu ketika Pak X pergi ke rumah Pak Y bermaksud meminjam uang kepada Pak Y. Saat itu Pak Y sedang menimang-nimang cucunya yang masih berusia lima bulan. Pak Y mengatakan bahwa mau meminjamkan uang namun dengan syarat Pak X harus menggendong cucunya selama satu jam. Urusan pinjam-meminjam itu mengandung riba. Mengapa? Ada pengorbanan tanpa imbalan yang disyaratkan. Dalam cerita tersebut, Pak X dipinjami uang dengan syarat harus menggendong cucu Pak Y.

Selain itu, dalam perdagangan familiar dikenal mengenai term 2/10 n/30. Sangat umum memang ketika suatu perusahaan membeli barang secara kredit mendapat syarat 2/10 n/30 yang artinya bila perusahaan tersebut mampu membayar utang dalam jangka waktu kurang dari atau sama dengan 10 hari maka mendapat potongan 2%, sedangkan jika dilunasi lebih dari 10 hari hingga jatuh tempo tetap membayar sebesar utang pokok. Itulah riba yang tersamar. Barang yang sama dijual dengan cara yang berbeda seperti angsur dan tunai bisa membedakan jumlah uang yang harus dibayar.

Riba akan mencemari harta kita. Harta yang haram dianalogikan seperti mobil yang diberi batu bara. Jelas mobil tersebut tidak bisa jalan. Memakan harta haram menyebabkan macetnya roh, malas dzikir kepada Allah, menjadi panjang urusannya dunia maupun akhirat.Alangkah sulit menjauh dari riba. Kita tidak menginginkan riba, namun sistem di negara ini menjadikan kita baik secara langsung maupun tidak langsung terlibat. Kita harus terus membenahi dan berikhtiar. Orang-orang Islam harus berkomitmen, berjama’ah. Jika Allah menghendaki, maka semoga kita senantiasa dilindungi dari kezhaliman dan dimudahkan dalam meniti jalan-Nya.

Scroll to Top