Tanya Jawab Seputar Riba (2)

images.google.com
tanya jawab riba

Artikel ini adalah lanjutan dari artikel Tanya Jawab Seputar Riba (1).

 

Beberapa pemberi utang ketika mensyaratkan tambahan jika pengutang membayar lewat tempo, beralasan bahwa uang yang mereka pinjamkan seharusnya bisa menjadi modal usaha atau untuk memenuhi kebutuhan. Maka, bagaimana cara Islam menanggulangi kerugian yang mungkin dialami oleh pemberi pinjaman?

Jawab:

Solusi yang ditawarkan adalah jaminan. Jika Anda meminjamkan uang kepada si peminjam dan meminta agunan, pada dasarnya ketika agunan itu macet, maka si peminjam akan menjual barang yang menjadi jaminannya. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya hal yang tidak diinginkan, disarankan meminta barang jaminan dan membuat perjanjian. Jika terjadi kemacetan, maka si pemilik barang tadi harus menyerahkan kewenangannya kepada kita untuk menjual barang tersebut. Akan tetapi, misalnya ketika kita menjual barang tersebut untuk melunasi utang si peminjam yang berjumlah 5 juta rupiah, kemudian barang itu laku 7 juta rupiah, maka dalam hal ini yang boleh kita ambil sebagai pelunas utang si peminjam hanya 5 juta rupiah, sedangkan 2 juta rupiah (sisanya) kita pulangkan kepada si peminjam.

Alasan bahwa uang pinjaman bisa dijadikan modal usaha merupakan alasan yang biasa dipakai rentenir. Patut disadari bahwa dalam Islam, utang-piutang sejatinya merupakan transaksi sosial. Orang yang mau meminjamkan uangnya kepada orang lain berarti telah melakukan kegiatan sosial, dan orang yang mau melakukan kegiatan sosial harus siap merugi, apapun yang terjadi. Utang-piutang dalam Islam tidak boleh dijadikan sarana untuk mencari keuntungan. Jika ingin mencari keuntungan, silakan lakukan kegiatan sewa-menyewa, jual beli jasa atau barang. Dengan demikian, ditegaskan lagi bahwa jika ingin mengamankan uang yang dipinjamkan, mintalah jaminan/agunan, buatlah perjanjian untuk kemudian mencairkan/menjual barang jaminan pihak yang berutang dalam peminjaman tersebut.

 

Apakah bijih emas dianggap sebagai emas?

Jawab:

Ya, bijih emas memang dianggap emas, namun sebenarnya masih bercampur dengan material yang lain. Oleh karena itu, jika kita ingin bijih emas itu dibarter dengan emas, maka harus dipisah/diurai terlebih dahulu antara yang benar-benar emas dengan yang bukan emas.

 

Jika kita bekerja di sebuah toko, suatu saat kita nge-bon untuk membeli sabun, sampo, dan lain-lain tanpa sepengetahuan atasan, namun kita menulis utang atas transaksi tersebut di sebuah buku, yang mana utang itu baru akan dibayar saat kita sudah punya uang, maka bagaimana hukumnya?

Jawab:

Transaksi seperti itu tidak dibenarkan, karena tidak ada pihak yang mengetahui transaksi tersebut, dalam artian tidak jelas kita bertransaksi dengan siapa, tidak ngomong terlebih dahulu. Itu namanya mencuri. Selain itu, transaksi semacam itu bukan bagian dari hak kita sebagai karyawan toko tersebut.

 

Saya merupakan mahasiswa yang mendapat kiriman uang dari ATM bank konvensional. Apakah ini termasuk riba?

Jawab:

Bank dalam kasus ini berperan hanya sebagai penjual jasa, yakni jasa ATM. Tidak ada transaksi utang-piutang di sana, melainkan hanya jasa pengiriman (transfer). Dengan demikian, kasus ini tidak termasuk riba, karena ATM tidak termasuk dalam bab riba.

 

Jika dari awal penjual beras sudah memberitahukan bahwa harga beras ada dua: harga normal Rp7.000,-/kg ketika membayar cash (tunai); dan Rp7.500/kg jika dalam waktu seminggu setelah transaksi, antara penjual dan pembeli telah sepakat, maka apakah ini termasuk riba?

Jawab:

Adanya dua macam harga (tunai dan tidak tunai) dalam kasus ini termasuk hal yang masih diperselisihkan para ulama. Akan tetapi, pendapat yang lebih tepat digunakan adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa ini bukanlah riba. Dengan kata lain, ini hal yang boleh dilakukan, namun dengan catatan tidak boleh ada hukuman finansial. Misalnya, setelah seminggu disepakati Rp7.500,-/kg (sesuai kasus di atas), namun saat itu si pembeli terlambat melakukan pelunasan, alias molor, lantas si penjual menaikkan harga menjadi Rp8.000,-/kg, maka tambahan Rp500,- itu merupakan riba, dan inilah yang tidak dibolehkan.

 

Saya merupakan mahasiswa penerima beasiswa full dari perusahaan di daerah asal saya, karena orangtua tidak mampu membiayai pendidikan saya. Uang beasiswa ditransfer melalui bank ribawi. Tidak ada tambahan dari bank tersebut, namun ada pemotongan Rp10.000,-/bulan. Bagaimana hukumnya?

Jawab:

Transfernya tidak masalah, yang mungkin bisa jadi masalah adalah keberadaan uang kita di bank ribawi tersebut. Akan tetapi, sebagaimana disinggung sebelumnya hal itu dibolehkan karena pertimbangan hal yang darurat (alasan keamanan menyimpan uang dalam jumlah yang besar). Kemudian dalam hal tidak adanya tambahan, namun dikenakan pemotongan tersebut, tidak mengapa.

 

Bagaimana bila perusahaan yang memberi beasiswa tersebut menganut sistem ekonomi kapitalis?

Jawab:

Kapitalis itu sistem ekonomi yang sudah global, sifatnya lebih makro, bukan masalah suatu perusahaan tertentu. Jadi, tidak masalah, karena hal yang perlu kita perhatikan adalah di bidang apa perusahaan itu bergerak. Misalnya perusahaan itu bergerak di bidang pengelolaan kelapa sawit, bidang itu bersifat halal. Maka, tidak ada masalah dengan bantuan yang diberikannya.

 

Apakah tambahan yang termasuk riba adalah tambahan yang dipersyaratkan di awal?

Jawab:

Ya, demikianlah definisi riba.

 

Bagaimana bila saya meminjam uang kepada teman yang tidak mensyaratkan tambahan, namun dalam masa peminjaman tersebut saya mendapat oleh-oleh dari suatu tempat dan ingin membagikannya kepada teman yang dipinjami uang tersebut. Apakah itu termasuk riba, mengingat setiap manfaat yang didapat dari utang adalah riba?

Jawab:

Dilihat dulu, biasanya apakah memberi oleh-oleh ataukah tidak sepulang bepergian, dengan kata lain bisa dilihat dari tujuan memberi oleh-oleh tersebut. Jika memberi oleh-oleh karena memiliki utang atau hanya memberi dalam masa utang, maka itu termasuk riba. Hal ini mengingat bahwa tambahan yang tidak disyaratkan hanya boleh diberikan saat pelunasan atau setelah pelunasan, namun tidak boleh dalam masa pelunasan.

 

Bagaimana hukumnya transaksi tukar-tambah emas?

Jawab:

Transaksi tersebut tidak dibolehkan. Solusinya, salah satu pihak harus mengalah, kemudian transaksinya seperti segitiga, emasnya dijual ke Toko A, uang didapat, kemudian dibelikan lagi emas ke Toko B.

 

Bagaimana keadaan pelaku rentenir ketika meninggal dunia?

Jawab:

Wallahu a’lam keadaannya. Keadaan yang Allah jelaskan hanya saat dibangkitkan dari kubur, seperti telah termaktub dalam al-Quran.
Seandainya ada rentenir yang matinya tersenyum, itu tidak menjadi dalil bahwa riba itu bermanfaat, menyebabkan matinya tersenyum. Tidak. Hukum tidak berubah dengan adanya hal-hal yang aneh pada pelaku kejahatan atau pelaku pelanggar hukum.

 

Di daerah saya, ada sebuah kebun stroberi yang jika membayar sejumlah tertentu ketika kita akan masuk, maka bisa makan sepuasnya, namun jika kita ingin membawa pulang buahnya, maka harus ditimbang dulu buahnya itu kemudian membayar lagi sejumlah tertentu. Bagaimana hukumnya?

Jawab:

Hal ini masih diperselisihkan para ulama. Bahasan ini tidak termasuk dalam bab riba, melainkan dalam bab jual-beli. Hal yang diperselisihkan adalah mengenai adanya gharar (gambling) atau tidak. Ada sebagian ulama yang menilai bahwa ini termasuk gharar, karena tidak ada kepastian bahwa nilai uang yang dibayarkan sebanding dengan buah yang dimakan sepuasnya tersebut, sehingga dalam kasus semacam ini, hal tersebut diharamkan. Salah seorang ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikh Shalih al-Fauzan rahimahullah. Akan tetapi, ada sebagian ulama lainnya yang berpendapat bahwa itu bukanlah gharar, dengan asumsi bahwa si pemilik kebun sudah mengukur perbandingan antara jumlah uang yang didapatnya dengan jumlah buah yang diambil dari kebunnya, atau sudah disesuaikan dengan kapasitas perut manusia dalam keadaan lapar. Dengan kata lain, segala kondisi yang akan terjadi telah diperhitungkan dengan matang sebelumnya oleh si pemilik kebun. Maka wallahu a’lam, insyaAllah pendapat yang ke-2 lebih tepat dalam masalah ini.

 

Apakah boleh memanfaatkan fasilitas kampus yang disumbangkan oleh bank?

Jawab:

Dalam kata lain, kasus dia atas adalah mendapatkan hadiah dari rentenir. Hal ini masih diperselisihkan para ulama.

Sebagian ulama berpendapat bahwa hal ini haram. Jika harta itu didapat dari rentenir, satu-satunya sumber pendapatannya adalah sebagai rentenir, maka harta itu haram.

Sebagian ulama lainnya berpendapat, bahwa harta itu tidak otomatis haram, melainkan menjadi haram karena adanya transaksi. Dalam hal ini, transaksi haram terbagi menjadi dua, sebagai berikut:
1) transaksi harta secara tidak rela, seperti pencurian/perampokan, misalnya harta didapat tanpa kerelaan dari pemilik, maka harta itu menjadi haram untuk semua orang, termasuk jika harta itu dibagikan/diberikan kepada kita, dan kita mengetahui bahwa harta itu didapat dari hasil pencurian/perampokan, maka harta ini haram;
2) transaksi harta secara sukarela, seperti transaksi riba, misalnya seseorang mendapatkan harta dengan izin orang lain melalui transaksi riba, kemudian membagi atau memberikan harta itu kepada kita, maka harta yang dibagikan/diberikan kepada kita itu termasuk harta yang halal, sedangkan harta yang ada pada si pembagi/si pemberi tadi termasuk harta yang haram karena didapat langsung melalui transaksi riba.

Dengan demikian, dalam kasus ini fasilitas tersebut halal digunakan, karena diberikan/disumbangkan. InsyaAllah pendapat ini lebih tepat dalam masalah ini. Salah seorang ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikh Ibn al-‘Utsaimin . Meskipun begitu, kita lebih dianjurkan untuk bersikap wara’ (hati-hati), yakni dengan cara menghindarinya/meninggalkannya, namun jika ingin memanfaatkannya, tidak mengapa.

 

Demikian adalah tanya jawab seputar riba pada kajian “Mengenal Riba dan Bahayanya” di Masjid Al Ashri, Pogungrejo, Yogyakarta, bersama Ustadz Aris Munandar, M.P.I hafidzahullah (Pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia, Kontributor di muslim.or.id, dan Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)

 

Media dan Informasi
Shariah Economics Forum
Universitas Gadjah Mada

Scroll to Top