E-Dynamic : Kesadaran Mahasiswa Yogyakarta terhadap Kehalalan Makanan

DSC_0271E-dynamic adalah sebuah kesempatan yang menarik karena menjadi fasilitator dalam berdiskusi. Membahas persepsi mahasiswa mengenai Ekonomi Islam menjadi hal yang sulit dilakukan pada beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi, SEF UGM mampu melakukan sesuatu yang dahulu tidak mungkin dilakukan.
Orang awam mungkin menganggap kehalalan makanan akan lebih relevan jika dibahas oleh orang-orang yang mendalami ilmu tentang teknologi pertanian atau pangan. Akan tetapi, persepsi tersebut tidak mampu menghentikan bidang ilmu lain untuk turut mengkajinya. Ini karena banyak masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan satu bidnag ilmu saja. Jika hanya satu sudut pandang dari bidang ilmu tertentu yang menyelesaikan masalah, sangat sedikit kontribusi yang dapat diberikan. Sebaliknya, integrasi dan komunikasi antarbidang ilmu akan menghasilkan banyak manfaat. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan adanya kontribusi dari masing-masing bidang ilmu. Selain itu, setiap orang yang menadalami bidang ilmu tertentu juga dapat mengidentifikasi apa saja yang bisa ia kontribusikan. Kontribusi setiap bidang ilmu dapat berupa persepsi, regresi, dan korelasi. Ilmu yang dimiliki oleh muslim bersifat tidak terbatas. Sebagai muslim, peserta diharapkan minimal mempunyai ilmu dasar sebagai bekal di dunia
Riset yang telah dilakukan oleh Departemen Riset dan Pengembangan SEF UGM adalah Riset awal yang membutuhkan banyak saran dan masukan. Dengan dukungan data dari 1080 responden se-Yogyakarta, riset tersebut dianggap sangat powerfull karena Yogyakarta adalah miniatur Indonesia.

Suatu kata dalam bahasa Arab biasanya terdiri dari tiga huruf dasar yang membentuk kata tersebut. Kata halal sendiri disusun oleh tiga huruf dasar, yaitu kha, lam, dan lam. Ulama mendefinisikan halal dengan kriteria sebagai berikut:
1) halal karena pada dasarnya hukum zat yang terkandung memang halal, seperti air adalah halal, sedangkan anjing dan babi adalah haram, dan
2) halal menurut cara mendapatkan atau mengolahnya, seperti air yang pada dasarnya halal menjadi haram karena diambil dengan cara mencuri.
Kriteria halal ada dua, yaitu secara zat dan cara perolehannya. Dengan dua kriteria tersebut, masyarakat diharapkan lebih mudah dalam membedakan antara sesuatu yang halal dengan yang haram. Sebagai contoh, di Jogja terdapat banyak makanan olahan daging babi. Hal ini tentu mudah untuk diidentifikasi karena sudah jelas makanan olahan tersebut mengandung zat yang tidak halal. Sebaliknya, ketika mengonsumsi sate kambing, msyarakat tidak cemas karena yakin zat yang terkandung pada makanan yang dikonsumsi adalah halal. Akan tetapi, makanan tersebut akan berubah menjadi haram jika kambing yang diolah menjadi sate tersebut disembelih oleh nonmuslim tanpa menyebut nama Allah SWT. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan menggunakan dua indikator berupa zat dan cara perolehan maupun pengolahan dalam menentukan kehalalan makanan.
Dalam islam ada kaidah ushul fiqh yaitu bahwa pada dasarnya muamalah diperbolehkan, kecuali ada larangan. Sebaliknya, pada dasarnya ibadah dilarang, kecuali ada perintah dari-Nya. Dalam hal ini Ulama berpendapat bahwa semua yang ada di langit dan di bumi adalah halal, sesuai dengan isi Q.S. Al-Baqarah : 29 yang menyatakan bahwa Allah yg menciptakan semua yang ada di langit dan di bumi untuk manusia.
Sebenarnya Al-Qur’an sudah menjelaskan mana yang halal dan haram. Akan tetapi, sebagian besar masyarakat muslim di Indonesia masih malas dalam mencari dan menggali apa saja yang dihalalkan maupun diharamkan. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah masyarakat mau mencari tahu kehalalan makanan di pinggir jalan yang akan dikonsumsi? Sebagai muslim, masyarakat diharapkan mempunyai tanggung jawab dengan memperhatikan betul kehalalan dari setiap makanan yang akan dikonsumsi. Ini karena apa saja yang dimakan akan berubah menjadi berbagai macam dalam tubuh dan kelak menuntut pertanggungjawaban.
Berdasar pada pengalaman berada di tempat yang sulit untuk mencari makanan halal, 100 orang Indonesia yang berada di sekitar Glasgow University serius dalam menyikapi kehalalan makanan. Bahkan, ketika memasuki suatu restoran, mereka langsung mencari label halal. Jika tidak menemukan logo tersebut, mereka akan memilih restoran dengan logo V (vegetarian). Di sana regulasi yang ada sangat ketat. Masyarakat tidak boleh sembarangan memakai logo V pada komoditasnya. DI UK, kehalalan suatu produk disertifikasi oleh perkumpulan ulama. Yang menarik adalah di Indonesia ada lembaga penjamin kehalalan yaitu LPPOM MUI yang bertugas menjamin dan menerbitkan izin kehalalan makanan. Akan tetapi, masyarakat di Indonesia bebas memakai dan mencantumkan logo, baik MUI maupun label halal.
Sebagai muslim, masyarakat wajib mengonsumsi makanan halal. Jika hal ini dikaitkan dengan ekonomi, muslim wajib memperhatikan bahwa semua tidak hanya berhenti pada diri sendiri. Kontribusi dalam hal kehalalan makanan tidak akan berkelanjutan dan memberikan manfaat jika tidak diteruskan. Dengan kata lain, bidang ilmu dan kompetensi yang berebeda-beda diantara para muslim dapat saling melengkapi. Maka, masyarakat muslim dituntut agar tidak hanya tahu sebatas halal dan haram saja. Misalnya, ahli fisika menciptakan alat untuk mengidentifikasi kandungan babi pada suatu produk, Dengan ilmu masing-masing, masyarakat diharapkan mampu memberikan apa yang bisa dilakukan. Pada riset umum, yang dibutuhkan tidak hanya riset spesifik satu major, tetapi juga integrated studies yang melakukan riset dan mengombinasinya.
Studi yang dilakukan secara serius bukan hanya sekedar laporan yang dipublikasi secara terbatas, tetapi juga dipublikasi dalam ruang lingkup nasional maupun internasional. Jika kompetensi untuk mempublish secara nasional dan internasional tidak dimiliki, setidaknya masih ada orang lain yang lebih kompeten yang akan dengan senang hati membantu dalam pengembangan riset.

Kesadaran masyarakat terhadap kehalalan suatu produk sangat penting. Ini dibuktikan ketika membeli makanan, muslim harus mengetahui keberadaan label halal.

  • Latar Belakang

Indonesia, yang 88% penduduknya adalah muslim, adalah negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Oleh sebab itu, Indonesia berpotensi untuk mengembangkan produk halal beserta kompetensinya sehingga mampu bersaing di pasar global. Dalam hal ini, dukungan masyarakat terutama mahasiswa Yogyakarta mengenai kesadaran akan kehalalan makanan sangat berperan.

  • Rumusan Masalah

Bagaiamana tingkat kesadaran mahasiswa Yogyakarta terhadap kehalalan makanan?

  • Metode Penelitian

Riset ini menggunakan metode deskriptif dengan sumber data primer yang diperoleh melalui kuesioner dan wawancara serta data sekunder yang berdasar pada studi pustaka pada buku dan jurnal. Kuesioner terdiri dari 250 kuesioner kertas dan 830 kuesioner online. Dari 1080 data responden, hanya 920 data saja yang diolah. Hal itu bertujuan agar memudahkan dalam proses analisis.

  • Metode Analisis Data

Data diolah dengan metode reduksi data, peragaan data, penarikan simpulan, dan verifikasi. Selain itu, data juga dianalisis dengan Regresi Optimal Scaling Software SPSS 15.0 for Windows Evaluation Version.

Data berasal dari responden yang terdiri dari laki-laki sebanyak 51,52% dan perempuan sebanyak 48,48%. Responden berasal dari berbagai universitas di Yogyakarta. Sebanyak 577 responden adalah mahasiswa Universitas Gadjah Mada.

  • Isi dan pembahasan

Variabel bebas dalam riset ini adalah besarnya sedekah, jenis kelamin, pendapatan, dan agama.

  • Pentingnya kehalalan makanan
  1. Penting             : 82,6 % responden (760 orang)
  2. Cukup penting             : 10,2 % responden (  94 orang)
  3. Tidak terlalu penting :   4,0 % responden (  37 orang)
  4. Tidak penting :   3,2 % responden (  29 orang)

Olah data SPSS mengahsilkan r square sebesar 0.29 dan adjusted r square sebesar 0.284. Artinya, dengan koefisien determinasi yang rendah sebesar 0.4, variabel independen mempengaruhi variabel dependen sebesar 29,4% . Variabel yang mempengaruhi hanya besar pendapatan, agama dan jenis kelamin.

  • Pentingnya perhatian terhadap kehalalan makanan
  1. Ya : 89,7% responden
  2. Tidak : 10,3% responden

Variabel independen mampu memberikan pengaruh terhadap variabel dependen sebesar 22.5%

  • Pengetahuan akan kode komposisi makanan E214, E235, E431, dan E635
  1. Tidak tahu sama sekali : 63,3% responden
  2. Cukup tahu : 25,1% responden
  3. Tahu :   6,6% responden

Korelasi antarvariabel rendah dengan koefisien r square sebesar 0.015. Variabel yang mempengaruhi adalah besarnya pendapatan dan sedekah.

  • Perhatian terhadap komposisi makanan
  1. Sering sekali : 11,0% responden
  2. Sering : 39,8% responden
  3. Jarang : 44,0% responden
  4. Tidak pernah :   5,2% responden

Variabel berupa besarnya pendapatan, agama, dan infaq mempengaruhi variabel dependen dengan r square yang hanya sebesar 0.016.

  • Kesimpulan
  • Pentingnya Kehalalan Makanan

Mahasiswa Yogyakarta menganggap penting suatu kehalalan makanan (82,60% responden).

  • Perhatian terhadap kehalalan makanan

Mahasiswa Yogyakarta secara umum memerhatikan kehalalan makanan (89,68%).

  • Pengetahuan mengenai kode kandungan babi

Masih banyak mahasiswa yang tidak mengetahui kode kandungan babi.

  • Perhatian terhadap komposisi makanan

Mahasiswa yogayakarta sangat beragaam dalam memerhatian komposisi makanan.

Ajeng – Staf Dept. Kajian 2015

Scroll to Top