Ekonomika Islam : Sains atau Bukan ?

ARTIKEL 3

Oleh : Esa Asyahid (Kepala Departemen Riset dan Pengembangan SEF UGM, Ilmu Ekonomi 2015)

Ribuan bahkan mungkin puluhan ribu artikel dengan topik ilmu ekonomi Islam telah menjamur di jagad maya. Tak kalah pula, seminar, pelatihan, diskusi, hingga program studi terkait bidang ini sudah akrab di kalangan masyarakat Indonesia. Pembahasan mengenai fenomena terkini “halal”dan “syariah” kian sering muncul di halaman utama surat kabar serta media massa lainnya. Dalam dunia akademis sendiri seolah ilmu baru ini telah mulai melembaga. Namun, setelah mengetahui rentetan kabar tersebut, penulis di sini hendak sedikit mengusik pikiran dan berbagi pertanyaan kepada pembaca. Sebagai sebuah bangunan pengetahuan, sejajarkah ilmu ekonomi Islam dengan fisika, biologi, kimia, sosiologi, serta ekonomika ? Singkatnya, apakah ilmu ekonomi Islam adalah sebuah ilmu pengetahuan (sains) ?
Pertanyaan ini singkat namun memerlukan jawaban yang panjang. Dengan pengatahuan yang terbatas, penulis melalui tulisan ini ingin sedikit berbagi perspektif tentang bahasan yang sebenarnya cukup fundamental tersebut.

Penyamaan Maksud
Sebelum beranjak lebih lanjut, ada satu hal penting yang harus dibereskan. Selama ini, pembahasan mengenai ekonomi Islam kadang menjadi tidak terarah karena ada ketidakjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan ekonomi Islam : sebuah bangunan pengetahuan (body of knowledge), sistem, atau fenomena riil ?. Ketiga hal ini jelas berbeda, dan perbedaannya akan menjadi lebih jelas jika kita memakai istilah dalam bahasa Inggris : Islamic economics, Islamic economic system, atau Islamic economy ? Istilah pertama memiliki padanan kata ‘ekonomika Islam’ (atau ilmu ekonomi Islam) dalam bahasa Indonesia, yang kedua sepadan dengan ‘sistem ekonomi Islam’, sementara yang ketiga sepadan dengan ‘perekonomian Islam’[1]. Objek yang menjadi pembahasan tulisan ini adalah ekonomika Islam yang merupakan sebuah bangunan pengetahuan.

Apa itu sains ?
Untuk menjawab apakah suatu pengetahuan (knowledge) termasuk keluarga ilmu pengetahuan/sains (science) atau bukan, diperlukan definisi serta ciri-ciri sains yang membedakannya dengan pengetahuan lain dan penjelasan atas hubungan keduanya (pengetahuan dan sains). Dalam ranah perdebatan filsafatis sebenarnya tidak ditemukan kesepakatan mengenai definisi pengetahuan. Namun demikian, kita akan memakai definisi sederhana sebagaimana yang disampaikan oleh Suriasumantri (1982) yaitu bahwa pengetahuan adalah “segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu”. Sumber utama kita menjadi tahu tentang sesuatu dapat dibagi menjadi dua : dari proses berpikir yang selanjutnya menghasilkan pengetahuan rasional, serta proses mengindera yang menghasilkan pengetahuan empiris. Sumber pengetahuan primer yang lain adalah intuisi dan wahyu. Di sisi yang lain pengetahuan juga dapat diperoleh melalui cara sekunder yaitu melalui media yang mampu memindahkan informasi seperti perkataan seseorang, buku, hingga tayangan video.
Tidak semua pengetahuan menjadi bagian dari sains. Informasi tentang naiknya harga bawang merah, jika ia berdiri sendiri, semata merupakan sebuah pengetahuan. Namun, jika informasi tersebut dikaitkan dengan informasi lainnya melalui sebuah cara tertentu, bahkan dibawa lebih jauh menjadi sebuah hubungan-hubungan yang bersifat umum (melalui generalisasi), ia bisa menjadi sains. Pernyataan “naiknya harga suatu barang mengakibatkan jumlah barang yang bersedia dibeli oleh konsumen naik, dengan asumsi faktor lain tidak berubah” bukan lagi sekedar pengetahuan. Ia telah menjadi teori ilmiah (scientific theory). Dengan demikian dapat dapat dipahami bahwa sains adalah kumpulan pengetahuan yang disusun dengan cara tertentu. Definisi ini belumlah lengkap hingga berlanjut ke pembahasan selanjutnya.

Setiap pengetahuan memiliki aspek ontologi dan epistemologi (serta aksiologi) masing-masing. Aspek ontologi berkaitan dengan apa yang dianggap eksis (ada) oleh pengetahuan, sementara aspek epistemologi berhubungan dengan kebenaran yang ada pada pengetahuan tersebut serta cara-cara untuk mencapainya. Sains secara ontologi hanya mengakui realitas fisik (termasuk realitas sosial) yang dapat diindera oleh manusia sebagai sesuatu yang ada. Sains kemudian mencoba untuk melakukan 3 hal kepada realitas tersebut : (1) menjelaskan bagaimana ia bekerja, lalu jika telah diketahui penjelasan tersebut dapat digunakan untuk (2) meramalkan kejadian di masa depan, serta melalui penjelasan tersebut dapat dilakukan (3) kontrol atau manipulasi terhadap realitas Hadi (2015). Dalam melakukan penjelasan atas realitas ini, dengan kata lain dalam upayanya untuk mencapai kebenaran, secara epistemologis sains menggunakan alat yang disebut sebagai metode ilmiah.

Metode ilmiah merupakan serangkaian prosedur yang pada dasarnya mencoba menjawab suatu pertanyaan terkait fenomena pada realitas fisik. Proses ini dimulai dengan pengamatan seksama terhadap realitas untuk menemukan sebuah pertanyaan. Setelah pertanyaan diajukan, langkah selanjutnya adalah membuat penjelasan dengan berdasar pada proses penalaran (pengetahuan rasional). Penjelasan tersebut akhirnya diuji dengan jalan membenturkannya dengan realitas (sehingga didapat pengetahuan empiris). Jika ternyata penjelasan tersebut memang sesuai dengan realita empiris, ia akan menjadi bagian dari khazanah pengetahuan ilmiah. Dengan demikian, ada syarat khusus untuk penjelasan yang diajukan dalam sains: ia harus dapat diuji secara empiris. Karl Popper mengusulkan agar syarat ini dipertegas. Ia berpendapat bahwa suatu penjelasan dapat disebut saintifik hanya jika penjelasan tersebut memberikan ruang bagi kita untuk membuktikan bahwa penjelasan tersebut salah (Okasha 2016). Istilah yang lazim digunakan untuk menyebut prinsip ini adalah ‘falsifikasi’; sebuah penjelasan (teori) ilmiah harus dapat difalsifikasi.

Prinsip falsifikasi sekilas terasa janggal di dalam commonsense kita. Namun, dengan sedikit contoh kita akan dapat menerima prinsip ini. Sebagai contoh, penjelasan bahwa meninggalnya seseorang disebabkan oleh keluarnya nyawa dari jasad orang tersebut merupakan penjelasan yang tidak dapat difalsifikasi. Kita tidak memiliki cara untuk membuktikan bahwa penjelasan tersebut salah (secara empiris) karena indera kita tidak mampu mengamati ‘nyawa’. Dengan demikian, penjelasan tersebut bukanlah penjelasan ilmiah[2].

Apa itu ekonomika Islam ?
Untuk memahami tentang apa yang dimaksud dengan ekonomika Islam, kita perlu merujuk pada beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh pemikir-pemikir di bidang ini. Hingga saat ini sebenarnya belum tercapai kata sepakat di antara para pemikir di bidang ini terkait definisi, ruang lingkup, maupun metodologi ekonomika Islam. Meskipun demikian, kita akan melihat sekilas beberapa definisi yang telah diajukan.

Hasanuz Zaman (1984) medefinisikan ekonomika Islam sebagai “pengetahuan dan aplikasi dari perintah-perintah serta aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam pemerolehan dan pembagian sumber daya material dengan tujuan memenuhi kebutuhan manusia dan memungkinkan manusia untuk melaksanakan kewajibannya pada Allah dan masyarakat”. Definisi ini terkesan sangat normatif, dalam arti bahwa ia berfokus pada penerjemahan tentang apa yang seharusnya dilakukan terkait kegiatan ekonomi agar sejalan dengan prinsip Islam. Tidak ada keterangan eksplisit mengenai metodologi yang harus digunakan. Di jurnal yang sama pada tahun yang sama, Akram Khan (1984) menjelaskan bahwa ekonomika Islam “bertujuan pada studi mengenai falah (kesejahteraan) manusia yang dicapai melalui pengorganisasian sumber daya di dunia dengan dasar kooperasi dan partisipasi”. Sebagaimana sebelumnya, definisi ini tidak memberikan keterangan metodologis yang jelas.

Muhammad Arif (Arif 1985) berusaha memberikan definisi yang lebih hati-hati. Setelah mempertimbangkan aspek paradigma serta masalah utama yang dimiliki ekonomika Islam, ia mendefinisikannya sebagai “studi terhadap perilaku muslim dalam mengelola sumber daya, yang mana merupakan sebuah amanah, untuk mencapai falah. Berbeda dengan dua definisi sebelumnya, di sini tidak disebutkan mengenai paradigma atau prinsip (yaitu syariah) yang digunakan dalam proses pengelolaan sumber daya. Namun, Arif menjelaskan bahwa pembatasan subjek ekonomika Islam menjadi hanya muslim saja berimplikasi bahwa proses atau tindakan tersebut akan sesuai dengan syariah. Artinya, definisi ini sebenarnya didasarkan pada asumsi bahwa pelaku ekonomi bertindak sesuai syariah, paralel dengan asumsi di ekonomika konvensional bahwa pelaku adalah makhluk yang rasional.

Apa yang sebenarnya membedakan ekonomika Islam dengan ekonomika konvensional? Masudul Alam Choudury (1990) menjelaskan bahwa ilmu sosial Islami yang didalamnya mencakup ekonomi politik memiliki pondasi yang berbeda dengan dualisme sains-agama Barat. Ilmu sosial Islami berangkat dari worldview yang berpusat pada konsep tauhid. Selanjutnya ia mendefinisikan ekonomi politik sebagai “studi tentang hubungan keseimbangan etiko-ekonomik (ethico-economic equilibrium) yang mengintegrasikan etika Islami dengan lingkungan ekologis yang luas”. Ekonomika Islami mempelajari sistem pasar yang merupakan bagian dari ekologi ini.

Jika kita perhatikan, definisi-definisi mengenai ekonomika Islam dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar (Kahf 2003). Kelompok pertama berfokus pada prinsip dan aturan syariah yang membentuk perilaku agen ekonomi. Definisi Hasanuz Zaman masuk dalam kelompok ini. Sementara itu kelompok kedua merupakan kebalikannya, berfokus pada perilaku agen akibat adanya prinsip syariah. Definisi Khan dan Arif masuk dalam kelompok ini.

Secara lebih jauh, jika ‘definisi ekonomika Islam’ dapat dimaksud sebagai ‘definisi Islami tentang ekonomika’, maka ruang lingkup ekonomika Islam akan menjadi sangat luas. Sebab, definisi ini berimplikasi bahwa ekonomika Islam merupakan studi atas perilaku ekonomi manusia secara apa adanya (in its own nature) (Kahf 2003), baik ketika agen ekonomi bertindak dalam sistem nilai Islami, sistem nilai liberalisme, atau sistem nilai apapun. Dengan demikian, ekonomika konvensional justru merupakan bagian dari ekonomika Islam menurut definisi ini.

Penjelasan yang komprehensif atas aspek landasan filosofis ekonomika Islam juga dipaparkan oleh Susamto (2016). Menurutnya, agar ekonomika disebut sebagai Islami, ia harus secara ontologis tidak memisahkan permasalahan duniawi dengan permasalahan ukhrawi, dan secara epistemologis tidak membatasi pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui indera dan rasio (akal). Susamto juga mengajukan empat ruang lingkup ekonomika Islam : (1) penjelasan mengenai perilaku ideal agen ekonomi serta dampaknya bagi perekonomian, (2) penjelasan atas perilaku aktual agen ekonomi dan dampaknya bagi perekonomian, (3) perbandingan perilaku ideal dengan aktual serta penjelasan jika ada kesenjangan di antara keduanya, dan (4) penjelasan atas cara yang dapat ditempuh untuk mendekatkan perilaku aktual dengan perilaku ideal.

Sejauh ini kita dapat menyimpulkan beberapa hal terkait definisi ekonomika Islam. Pertama, ekonomika Islam memiliki pondasi worldview yang berbeda dengan ekonomika konvensional maupun bidang ilmu sekuler lainnya. Kedua, ekonomika Islam melihat prinsip syariah terkait bagaimana agen ekonomi harus bertindak. Ketiga, pada beberapa definisi, ekonomika Islam melihat perilaku apa adanya dari agen ekonomi.

Selanjutnya kita dapat bertanya : apakah dengan demikian ekonomika Islam merupakan sains ? Jika kita merujuk pada definisi sains yang telah dipaparkan sebelumnya, jawaban atas pertanyaan ini bisa lebih dari satu.

Secara umum ekonomika Islam sebagai sebuah bangunan ilmu bukanlah sains, sebab aspek ontologis serta epistemologisnya berbeda. Ekonomika Islam dibangun dengan landasan bahwa realitas tidaklah tunggal namun majemuk. Dunia fisik hanyalah salah satu dari realitas bersama dengan realitas ghaib yang berada di luar cerapan indera manusia. Islam juga mengajarkan bahwa kehidupan dunia hanyalah salah satu rangkaian dari proses yang ada. Salah satu bentuk dari pengakuan atas realitas majemuk ini adalah pengakuan dan ketaatan atas aturan yang diturunkan oleh Allah. Hal ini berimplikasi pada aspek epistemologis, di mana ekonomika Islam selain mengakui kebenaran rasio dan kebenaran empiris juga mengakui kebenaran yang berasal dari wahyu. Prinsip-prinsip syariah yang menjelaskan mengenai perilaku ideal agen ekonomi diturunkan dari sumber utama yang berasal dari Qur’an maupun Hadits.

Meski ekonomika Islam secara keseluruhan bukan sains sebagaimana definisi kita, salah satu bagian dari ekonomika Islam bisa jadi dapat dikategorikan sebagai sains. Bagian ini terutama merupakan ranah yang menyangkut tentang studi perilaku aktual agen ekonomi. Jika kita membatasi penjelasan atas perilaku agen ekonomi aktual hanya pada penjelasan yang dapat difalsifikasi, penjelasan tersebut merupakan teori ilmiah. Di sisi lain jika kita menerima penjelasan yang bersifat transenden, misalnya bahwa ada aspek ruhaniah yang berperan pada tindakan tersebut, ia telah gugur sebagai penjelasan yang saintifik. Namun, walaupun kita membatasi diri pada penjelasan yang dapat terfalsifikasi secara empiris, bukankah secara ontologis kita tetap beriman pada yang ghaib? Hal ini dapat diperdebatkan, tetapi penulis berpendapat bahwa aspek ontologis merupakan properti dari pengetahuan dan bukan properti dari sang pengamat (subjek pengetahuan). Artinya, meskipun sains sebagai alat untuk memberikan penjelasan atas realita hanya mengakui dunia fisik (karena ia hanya memiliki kemampuan untuk menjelaskan hal tersebut), kita sebagai pengguna sains dapat memiliki posisi ontologis yang berbeda.

Kesimpulannya, ekonomika Islam sebagai bangunan ilmu yang utuh bukanlah sains. Ia lebih luas dari sains, dan bisa jadi ada beberapa bagiannya yang berisisan atau malah sepenuhnya berisi sains. Lantas apa artinya hal ini? Apakah dengan demikian kredibilitas ekonomika Islam menjadi berkurang? Tentu saja tidak, sebab kebenaran bukan hanya monopoli sains. Sebagai penutup, penulis mengutip salah satu perkataan Feynman (1963), seorang nobelis di bidang fisika :
“Jika sesuatu tidak dikatakan sebagai sains, bukan berarti bahwa ada yang salah dengannya, itu hanya berarti bahwa sesuatu tersebut bukan sains”.
Catatan Kaki :
[1] Penulis pribadi lebih memilih istilah ‘ekonomi Islam’ sebagai pengganti ‘perekonomian Islam’. Hal ini agar konsisten dengan penyerapan istilah dari bahasa Inggris : economics menjadi ekonomika, dan economy menjadi ekonomi.
[2] Perhatian. Penulis tidak berkata bahwa penjelasan yang tidak ilmiah (scientific) berarti secara umum salah. Sebab, pengetahuan lainnya bisa jadi memiliki kriteria kebenaran yang berbeda.

Daftar Bacaan
Arif, M., 1985. Toward a Definition of Islamic Economics: Some Scientific Considerations. Journal of Research in Islamic Economics, 2(2), pp.79–93.
Choudury, M.A., 1990. Islamic Economics as a Social Science. Journal of Social Economics, 17(6), pp.35–59.
Feynman, R., 1963. The Relation of Physics to Other Sciences. In Lectures on Physics Vol. I. California: California Institute of Technology. Available at: http://www.feynmanlectures.caltech.edu/I_03.html.
Hadi, S., 2015. Metodologi Riset 2015th ed., Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kahf, M., 2003. Islamic Economics: Notes on Definition and Methodology. Review of Islamic Economics, (13), pp.23–47.
Khan, M.A., 1984. Islamic Economics: Nature and Need. Journal of Research in Islamic Economics, 1(2).
Okasha, S., 2016. Philisophy of Science : Very Short Introduction, Oxford University Press.
Suriasumantri, J.S., 1982. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Susamto, A.A., 2016. No Title. In Proceedings Gadjah Mada International Conference on Islamic Economics and Development (Gama ICIED). Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada.
Zaman, S.M.H., 1984. Definition of Islamic Economics. Journal of Research in Islamic Economics, 1(2), pp.49–50.

Scroll to Top