Jihad Konsumen: Motivasi Religiusitas Dibalik Boikot Masyarakat terhadap Suatu Produk

Oleh: Agung Setia Adi

   Pada pasar barang dan jasa, konsumen memiliki peranan yang sangat penting untuk menciptakan permintaan terhadap suatu produk. Tinggi rendahnya permintaan terhadap produk tersebut sedikit banyak akan mempengaruhi eksistensi dari produk itu sendiri. Maka dari itu, istilah “Konsumen adalah Raja” sudah tidak asing lagi di telinga pelaku bisnis. Istilah tersebut merepresentasikan bahwa kelangsungan hidup pelaku bisnis sangat tergantung pada permintaan konsumen. Oleh karenanya, pelaku bisnis berlomba-lomba untuk memberikan kualitas produk dan pelayanan terbaik kepada konsumen. Namun, permintaan yang datang dari konsumen terkadang tidak didasarkan pada kualitas produk dan layanan, tetapi didasarkan faktor lain yang di luar kendali dari pelaku bisnis. Salah satu faktor tersebut berupa gerakan boikot yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat terhadap suatu produk.

     Boikot merupakan sebuah upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu dengan tidak menggunakan, membeli, atau berurusan dengan seseorang atau organisasi (Klein dkk., 2004). Gerakan boikot tentu saja akan memberikan dampak yang signifikan bagi pelaku bisnis yang dituju sebab gerakan boikot yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dapat menurunkan penjualan produk dan layanan. Implikasinya, terjadi penurunan pendapatan yang diterima oleh pelaku bisnis. Hal tersebut pasti akan menghambat aktivitas usaha di dalamnya. Jika kondisi tersebut terus dibiarkan, bukan tidak mungkin pelaku bisnis yang menjadi tujuan dari boikot akan ‘gulung tikar’. 

   Pada umumnya, boikot dilakukan sebagai wujud protes atau sebagai suatu bentuk pemaksaan terhadap pihak tertentu. Boikot yang muncul di permukaan seringkali diasosiasikan dengan sentimen politik yang menyeruak sebagai akibat dari konflik atau kebijakan tertentu yang tidak berpihak pada suatu kelompok. Akan tetapi, upaya boikot tersebut tidak selamanya berkaitan dengan sentimen politik yang ada. Terdapat motivasi lain yang muncul dibalik aksi boikot yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Salah satu motivasi tersebut berkaitan dengan motivasi religiusitas. 

      Menurut Abosag dan Farah (2014), boikot yang didorong oleh agama memiliki sifat lebih gigih serta lebih berdampak terhadap merek produk. Agama pada dasarnya merupakan kepercayaan yang dilandasi oleh nilai, norma, maupun kerangka gaya hidup yang berasal dari tuhan. Atas dasar itulah, kesamaan agama dapat menyatukan serta menggerakkan seseorang untuk membentuk gerakan sosial yang kolektif seperti boikot. Implikasinya, penganut agama yang tidak berkaitan langsung dengan sumber boikot secara mudah mengembangkan hubungan yang kuat dengan boikot atas dasar agama. Maka dari itu, agama terkadang menjadi ‘mesin penggerak’ utama yang menyukseskan gerakan boikot. Tidak terkecuali gerakan boikot yang diserukan oleh kaum muslim dengan menempatkan agama Islam sebagai ‘jantung’ dari boikot.

       Gerakan boikot yang diserukan oleh kaum muslim seringkali muncul sebagai respon dari konflik yang terjadi di Timur Tengah. Dalam kondisi tersebut, kaum muslim acap kali menjadi korban atas ketidakadilan yang ada. Oleh karenanya, konflik di Timur Tengah memunculkan adanya sentimen agama sehingga mendorong timbulnya boikot berbasis agama. Tidak sedikit pula aktivis maupun tokoh agama Islam yang terlibat dan mendukung boikot tersebut. Aktivis maupun tokoh agama Islam yang mendukung boikot mengaitkannya dengan kewajiban agama yang diperoleh dari sumber hukum agama seperti fatwa. Fatwa terkait boikot didasarkan pada ayat-ayat Alquran yang melarang umat Islam berpartisipasi dalam aktivitas apa pun yang dapat mengorbankan orang lain dan melarang bertransaksi dengan pihak yang mendukung atau mendorong ketidakadilan (Muhamad, 2011).

      Di samping itu, gerakan boikot berbasis agama yang dilakukan oleh kaum muslim juga dilakukan berdasar pada ikatan persaudaraan berlandaskan identitas agama Islam yakni ukhuwah islamiyah. Ajaran dalam agama Islam menekankan adanya keterhubungan atas orang-orang yang beriman. Hal tersebut berdasarkan pada Hadis 40:13 yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Dalam Hadis tersebut, Rasulullah saw. bersabda, 

Tidaklah termasuk beriman seseorang diantara kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” 

      Hadis tersebut dapat diartikan bahwa seorang muslim dengan muslim lainnya bagaikan satu jiwa. Jika seorang muslim bahagia, maka muslim lainnya juga bahagia, dan sebaliknya. Ajaran ini lah yang menjadikan pondasi kuat bagi individu muslim untuk menjangkau rekan-rekan yang seagama agar menjadi anggota kelompok agama yang bertanggung jawab. Adapun pertanggungjawaban tersebut berupa partisipasinya dalam gerakan boikot sebagai aksi dukungan serta empati kaum muslim terhadap ketidakadilan yang menimpa kaum muslim lainnya. Atas dasar itulah, boikot produk yang didasarkan atas dasar agama semakin kokoh.

      Kemudian, Menurut Muhamad (2018), pengambilan keputusan individu dalam boikot berbasis agama juga dipengaruhi oleh norma subjektif. Norma subjektif merupakan tingkat kepatuhan individu terhadap orang lain. Dalam kasus boikot berbasis agama Islam, norma subjektif memiliki peran dalam mengikat anggota suatu kelompok agama sampai taraf tertentu untuk memperjuangkan dan menegakkan ajaran agama. Perjuangan dan penegakkan ajaran agama dalam Islam biasa diafiliasikan sebagai jihad. Oleh karenanya, boikot berbasis agama Islam juga sering disebut sebagai jihad konsumen. 

   Upaya individu dalam mengamalkan ajaran agama Islam menjadi sumber yang berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi individu mengenai boikot berbasis agama. Hal ini menunjukkan bahwa agama dapat menjadi entitas utama dalam mengarahkan individu untuk berpartisipasi dalam boikot. Maka dari itu, agama seringkali menjadi media yang kuat dalam mendorong boikot terhadap suatu produk. 

       Meskipun demikian, jangan sampai peran agama dalam gerakan boikot ini dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Hal ini disebabkan oknum tertentu terkadang memanfaatkan sentimen agama untuk mengumpulkan serta menggerakkan aksi boikot sebagai upaya untuk menyerang pesaing bisnisnya. Kondisi ini tentu cukup memprihatinkan mengingat motivasi religiusitas konsumen dijadikan alat untuk tindakan yang tidak etis dalam ekosistem bisnis. Oleh karenanya, penting bagi konsumen untuk meninjau kembali secara komprehensif mengenai tujuan dan alasan dibalik boikot yang dilakukan sebelum terlibat di dalamnya.

 

Referensi

Abosag, I. and Farah, M.F. (2014). The Influence of Religiously Motivated Consumer Boycotts on Brand Image, Loyalty and Product Judgment. European Journal of Marketing, Vol. 48 Nos 11/12, pp. 2262-2283. https://doi.org/10.1108/EJM-12-2013-0737

Klein, J. G., Smith, N. C., & John, A. (2004). Why We Boycott: Consumer Motivations for Boycott Participation. Journal of Marketing, 68(3), 92–109. https://doi.org/10.1509%2Fjmkg.68.3.92.34770

Muhamad, N. (2011). Fatwa Rulings in Islam: A Malaysian Perspective on Their Role in Muslim Consumer Behaviour, in Sandicki, O. and Rice, G. (Eds). Handbook of Islamic Marketing, Edward Elgar, p. 35. 

Muhammad, N., Khamarudin, M., Fauzi, W.I.M. (2018). The Role of Religious Motivation in An International Consumer Boycott. British Food Journal. https://doi.org/10.1108/BFJ-02-2018-0118

Leave a Comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Scroll to Top