Konsumsi Islam

Oleh: Yanis Prihantika M.

salad-19372_640Indonesia merupakan negara yang dikenal dengan gaya konsumtif yang cukup tinggi. Jumlah penduduk Indonesia yang berada di urutan ke-4 sebagai negara dengan penduduk terbanyak sedunia dan gaya hidup masyarakat Indonesia yang cenderung konsumtif menjadi daya tarik bagi investor dari berbagai negara. Gaya hidup konsumtif adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan konsumsi yang berlebihan, mudah tertarik dengan barang atau jasa yang bukan menjadi prioritas utama untuk mendapatkan status sosial tertentu. Potensi pasar di Indonesia dapat menjadi salah satu sisi positif munculnya gaya hidup konsumtif. Adapun dampak negatif yang ditimbulkan dari gaya hidup konsumtif adalah gaya hidup hedonis, foya – foya dan boros. Munculnya fasilitas kartu kredit mendorong masyarakat untuk lebih mudah bertransaksi untuk memenuhi kebutuhan individu. Apabila tidak digunakan dengan tepat, seorang individu dapat terjerumus dalam lilitan hutang karena gaya hidup konsumtif. Pada tahun 2009, Indonesia berada pada urutan ke-2 dunia sebagai negara dengan tingkat konsumsi tinggi. Dalam ekonomi konvensional, semakin tinggi konsumsi mengindikasikan bahwa pendapatan juga tinggi {Y=C+S}. Namun perlu ditelisik lebih jauh siapa pihak yang memiliki tingkat konsumsi tinggi. Kurangnya pemerataan menyebabkan tingkat konsumsi di Indonesia hanya semu belaka. Hal ini disebabkan tidak semua masyarakat menikmati dan mampu meningkatkan tingkat konsumsi (sebagai indikasi meningkatnya pendapatan). Distribusi yang tidak merata menyebabkan kesenjangan semakin lebar antara Si Kaya dan Si Miskin. Si Kaya semakin menikmati gaya hidup yang boros tanpa melirik keadaan Si Miskin.

Dalam teori konsumsi Islam, seorang Muslim dilarang untuk hidup boros yang berlebih- lebihan yang tercantum dalam Al Qur’an surat Al-Israa’ ayat 26-27 :
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan”. Jelas bahwa seorang muslim dilarang hidup berlebih – lebihan walaupun sumber daya ekonomi yang dimiliki besar.

Dalam ekonomi Islam, muslim diharuskan untuk menyisihkan penghasilannya untuk infak {Y= (C+Infaq) + S}. Islam mengatur umatnya untuk menyisihkan infak terlebih dahulu setelah kebutuhan primer (C) terpenuhi, kemudian sisa dari konsumsi dan infak dapat digunakan untuk tabungan (S). Muslim yang berada dalam kekurangan dapat terbantu dengan adanya infak. Islam mengatur setiap individu untuk tidak berlebih- lebihan dan tetap memperhatikan kebutuhan orang lain dengan menyalurkan infak. Berbeda dengan teori konvensional yang tidak mengatur konsumsi individu. Seorang individu akan merasa puas apabila seluruh kebutuhannya dapat terpenuhi. Hal ini menumbuhkan benih – benih kapitalisme. Si Kaya semakin kaya tanpa memperhatikan keadaan Si Miskin.

Dalam konsumsi Islam, seorang Muslim akan mendapat kepuasan lebih apabila mengonsumsi barang halal daripada barang haram. Berbeda dengan teori konsumsi konvensional yang tidak mengatur halal-haramnya suatu barang atau jasa. Dalam teori konsumsi Islam, seorang muslim tidak hanya mengatur kebutuhan duniawi saja namun juga bertujuan untuk mencapai falah (kemuliaan dan kemenangan hidup). Individu hendaknya bijaksana dalam mengonsumsi segala kebutuhan dengan memperhatikan skala prioritas, menyisihkan infak dan mengonsumsi barang yang halal untuk mencapai falah.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Scroll to Top