Kemiskinan Masih Merajalela, Dapatkah Zakat menjadi Solusinya?

Oleh: Saefu Robani

Kemiskinan merupakan suatu isu yang telah ada sepanjang sejarah manusia. Perbedaannya, kemiskinan di zaman dahulu pada umumnya disebabkan oleh perampasan hak-hak manusiawi secara paksa yang disebabkan oleh keserakahan pemimpin, peperangan, penjajahan hingga perbudakan. Kini, hampir semua orang memiliki kebebasan serta hak asasi atas diri sepenuhnya. Akan tetapi, masih banyak manusia yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari disebabkan minimnya penghasilan dari pekerjaan mereka sehingga kepemilikan hak asasi seakan-akan tidak ada artinya sama sekali.

Lantas, faktor apakah yang menyebabkan kemiskinan masih lestari, khususnya di zaman yang sudah modern seperti saat ini? Salah satu faktor utama yang mendorong konsistensi kemiskinan di berbagai negara adalah ketidakmerataan atau ketimpangan pendapatan (Gould, 2014). Adanya ketimpangan keadaan sosio-ekonomi antara wilayah kota dan desa, orang kaya dan orang miskin, serta pengusaha dan buruh mengakibatkan kekayaan mengalir deras hanya untuk mereka yang berada di posisi atas, sedangkan yang di bawahnya hanya bisa mencicipi sisa tetesannya. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, kejadian konkret yang dapat dijadikan contoh adalah kondisi perekonomian Indonesia di masa lampau.

Dalam kurun waktu 1995-2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cenderung pesat hanya dapat dirasakan oleh 20% penduduk terkaya di tanah air (World Bank, 2015). Bagaimana dengan sisanya? Mereka terperangkap dalam stagnansi pendapatan, jikalau bertambah, itu pun tidak seberapa. Keadaan tersebut menahan orang-orang yang hidup berkekurangan untuk dapat melepaskan diri dari kemelaratan. Padahal, harga komoditas kebutuhan hidup secara agregat selalu naik walau perlahan-lahan. Jadi, wajar saja apabila dalam periode tersebut persentase kemiskinan penduduk di Indonesia selalu di atas dua digit (Badan Pusat Statistik, 2018).

Pertanyaannya adalah, bagaimana cara untuk dapat memukul ketidaksamarataan dalam pendistribusian kekayaan sehingga terbagi secara efektif dan proporsional ke setiap lapisan masyarakat? Barangkali solusi yang selama ini dicari-cari dapat ditemukan di dalam rukun islam yang ke-3.

Di negeri yang mayoritas penduduknya beragama islam, zakat memiliki potensi yang layak dikembangkan secara strategis dalam menangani masalah ekonomi dan sosial kemasyarakatan, seperti kesenjangan pendapatan. Karena pada hakikatnya, zakat mendorong seseorang yang berkecukupan untuk menyisihkan kelebihan hartanya kepada yang lebih membutuhkan. Dampaknya adalah ketimpangan sosial dapat diminimalisir.

Zakat juga bersifat wajib bagi setiap individu yang menganut ajaran islam yang telah memenuhi syarat tertentu. Oleh sebab itu, potensi dari dana yang dikumpulkan melalui zakat di Indonesia sendiri sangatlah besar. Bagaimanapun juga, dana yang diperoleh zakat tidak boleh dikelola dengan semaunya sendiri untuk kepentingan tertentu. Dana zakat hanya boleh disalurkan untuk golongan-golongan yang berhak mendapatkannya, terutama bagi orang-orang yang terjerat kemiskinan. Dengan demikian, efek yang ditimbulkan zakat akan dapat dirasakan langsung bagi penerimanya.

Berbeda halnya dengan kebijakan-kebijakan penanggulangan kemiskinan yang diselenggarakan pemerintah. Untuk menyalurkan bantuan kepada orang miskin, kebijakan yang dibuat pemerintah harus sanggup menghadapi struktur birokrasi yang berliku-liku, penerapannya pun harus melewati berbagai saluran sehingga rawan untuk “rontok” di tengah jalan.

Hingga kini, konsep zakat terus dikembangkan untuk dapat meningkatkan efektivitasnya dalam membantu para resipiennya. Dana zakat yang tersalurkan diharapkan tidak hanya dipakai untuk kegiatan konsumtif sehingga setelah diberikan langsung dihabiskan semaunya. Melainkan, dana yang diberikan akan digunakan untuk meningkatkan produktivitas penerima sehingga mampu hidup mandiri secara finansial. Konsep ini lazim disebut zakat produktif, di mana objek zakat diberikan bantuan serta peluang untuk dapat menaikkan statusnya menjadi subjek atau donatur zakat.

Penelitian yang melibatkan para tenaga ahli mengestimasi bahwa total seluruh potensi penghimpunan dana zakat di tanah air adalah sebesar 233,8 trilyun rupiah atau sekitar 2% dari total GDP Indonesia di tahun 2017 (BAZNAS, 2019). Tentunya hasil penelitian tersebut bisa saja meleset dari kenyataan karena sifatnya taksiran. Sayangnya, realisasi zakat di Indonesia sendiri hanyalah sebesar 4,9 trilyun rupiah, jauh berkali lipat di bawah potensi sesungguhnya  (BAZNAS, 2018). Hal tersebut menandakan rendahnya tingkat kesadaran orang-orang beragama islam di Indonesia dalam melakukan kewajiban zakat. Padahal, sangatlah memungkinkan apabila ternyata solusi yang selama ini dicari-cari untuk menjawab persoalan kemiskinan yang tak kunjung usai terdapat dalam perintah Allah, tetapi justru diabaikan oleh kebanyakan manusia.

Untuk rendahnya tingkat kesadaran zakat, penulis hanya bisa beranekdot bahwasanya orang-orang Islam di Indonesia lebih takut dipenjara dibandingkan masuk ke dalam neraka. Alasannya adalah mereka taat dalam membayar pajak, tetapi lalai dalam menunaikan zakat.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Badan Amil Zakat Nasional. (2018). Statistik Zakat Nasional. Badan Amil Zakat Nasional. https://baznas.go.id/szn2018

Badan Amil Zakat Nasional. (2019). Buku Indikator Pemetaan Potensi Zakat. Badan Amil Zakat Nasional. https://drive.google.com/file/d/1-eaMjj3JYoiPlXu29E88B61QpP0t5938/view

Badan Pusat Statistik. (2018). Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan, 1970-2017. Badan Pusat Statistik. https://www.bps.go.id/statictable/2014/01/30/1494/jumlah-penduduk-miskin-persentase-penduduk-miskin-dan-garis-kemiskinan-1970-2017.html

Gould, E. (2014). Inequality Is the Main Cause of Persistent Poverty. Economic Policy Institute. https://www.epi.org/blog/inequality-main-persistent-poverty/

World Bank. (2015). Indonesia’s Rising Divide. World Bank. https://www.worldbank.org/en/news/feature/2015/12/08/indonesia-rising-divide

Leave a Comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Scroll to Top