#JURNARIS

Oleh Saddam Galih Aldermand

Dewasa ini, kita mengetahui bahwa masa pandemi ini merupakan masa yang berat bagi …

Oleh: Novaditya Ramadhan

Perkembangan perbankan di Indonesia beberapa tahun terakhir ini semakin pesat  jika dilihat dari tahun-tahun …

Oleh: Muhammad Iqbal

    Pandemi menjadi sebuah tantangan bagi industri perbankan saat ini, termasuk perbankan …

Oleh: Irfan Aziz Al Firdaus

Dalam waktu 20 hingga 30 tahun ke depan, beberapa negara maju di dunia akan mengalami pergeseran …

Oleh: Rumzil M S

Masyarakat Indonesia lebih mengenal praktik wakaf dalam bentuk tanah dan bangunan. Hal ini …

Oleh: Agung Setia Adi

   Pada pasar barang dan jasa, konsumen memiliki peranan yang sangat penting untuk menciptakan …

Oleh: Angelica Novitasari

Seiring perkembangan teknologi, perkembangan fintech atau financial technology semakin marak di tengah-tengah masyarakat. Dilansir dari ojk.go.id, Fintech Lending …

Oleh: Saefu Robani

Akhir-akhir ini, terdapat perkembangan konsensus yang menganggap bahwa pemberian uang tunai secara langsung adalah cara terbaik dalam mengentaskan …

Pada masa pandemi ini, kegiatan transaksi online menunjukan peningkatan yang luar biasa. Salah satu skema perdagangan yang sering dilakukan karena berbagai kemudahannya adalah dropship. Namun, muncul berbagai argumen pro maupun kontra setelah Ust. Erwandi, salah satu ustad yang dakwahnya cukup aktif di promosikan oleh yufid.com, mengharamkan adanya skema ini. Menurut Sarwat (2013), jual beli dengan skema dropship ini tidak melanggar ketentuan syariah walaupun penjual belum memiliki hak atas barang. Beberapa ulama bersepakat tentang keharaman dropship dengan berbagai dalil dan alasan. Sebagian lainnya mengatakan halal dengan berbagai syarat.  Lalu, mengapa ini bisa terjadi?

Skema Dropship

Dalam memahami situasi ini, Kita perlu memiliki pemahaman yang lebih jelas mengenai apa itu dropship. Transaksi dropshipping menurut Feri Sulianta merupakan salah satu metode jual beli secara online, di mana badan usaha atau perorangan baik itu toko online atau pengecer (dropship) tidak melakukan penyetokkan barang, dan barang didapat dari jalinan kerja sama dengan perusahaan lain yang memiliki barang yang sesungguhnya atau yang disebut dropshipper. Secara istilah, dropshipping adalah metode jual beli secara online, dropship adalah istilah bagi toko online, sedangkan dropshipper adalah perusahaan yang menawarkan barang dagangan untuk dijual ‒yang akan mengirim barang langsung kepada konsumen setelah toko online membayar harga barang dan biaya pengiriman. Kemudahan bagi penjual, baik dari sisi biaya penyimpanan maupun untuk modal menyetok barang, menjadi ciri utama mengapa dropship menjadi skema yang populer digunakan.

Sebagai contoh, seorang penjual telah menemukan supplier yang dapat diajak bekerja sama. Penjual kemudian mempromosikan barang dari supplier-nya dengan mendesain ulang poster atau foto produk dan menambahkan keterangan tentang spesifikasi produk. Produk yang dijual oleh para dropshipper ini dapat kita temukan di marketplace seperti Shopee, Tokopedia, bahkan Instagram. Artinya, penjual berperan sebagai agen dari supplier. Namun, di sisi lain ia berdiri sendiri dengan nama toko/merk yang ia bangun sendiri tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk tempat penyimpanan. Bagaimana hukum jual beli barang yang tidak kita miliki?

Penentuan Hukum Suatu Transaksi

Dalam menentukan hukum suatu transaksi, terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh para ulama. Namun, pada dasarnya, hukum jual beli merupakan akad yang diperbolehkan sesuai dengan firman Allah SWT pada QS. Al-Baqarah ayat 275.

وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Artinya:

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Al-Qur’an memang tidak merincikan secara detail terkait bagaimana proses jual beli dapat dikatakan haram atau halal. Oleh karena itu, para ulama bersepakat untuk membantu menafsirkan bagaimana suatu transaksi dapat dikatakan halal atau haram. Singkatnya, transaksi dapat dikatakan halal ketika transaksi tersebut sesuai dengan jumhur ulama. Aturannya sederhana. Hanya terdiri dari 2 bagian yaitu rukun dan syarat.

  1. Rukun

Bayangkan ketika kita sedang berbelanja di pasar tradisional. Kita sebagai seorang pembeli menghampiri salah satu penjual. Misalnya, kita akan membeli tempe. Kemudian, kita memilih tempe yang ingin dibeli dan bertanya tentang berapa jumlah uang yang harus dibayarkan. Di akhir, kita mungkin bersepakat atas 2 ikat tempe dengan harga Rp5.000. Berdasarkan ilustrasi diatas, semua rukun sudah terpenuhi. Ada penjual, pembeli, barang, nilai tukar, dan kesepakatan (ijab qabul). Di dalam dropship, juga berlaku hal yang sama.

  1. Syarat

Dari 4 rukun yang ada, masing-masing harus memenuhi syarat yang berlaku. Baik penjual dan pembeli harus berakal dan cakap dalam hukum. Barang yang dijual harus suci, dapat dikuasai, terdapat pemiliknya, jelas spesifikasinya, dan bermanfaat. Nilai tukar haruslah nilai tukar yang berlaku secara umum dan dimungkinkan barter dengan barang-barang yang tidak syara‘ seperti babi atau khamr. Kesepakatan antara yang diucapkan dan dilakukan harus sesuai dan dilakukan oleh orang yang baligh serta berakal.

Kepemilikan dalam Dropship

Dari syarat dan rukun di atas, kita mengetahui bahwa konflik skema dropship terletak pada syarat barang yaitu tentang kepemilikan barang. Bagaimana jika dropshipper dianggap sebagai agen?

Jual beli dengan sistem pesanan, atau salam, merupakan jual beli dimana barang harus disebutkan sifat dan harganya di tempat akad berlangsung. Bai’ as-salam menurut Yazid Afandi merupakan akad jual beli pesanan dengan pembayaran di depan atau pembayaran terlebih dahulu, dan barang tersebut akan diserahkan kemudian hari. Namun, barang tersebut harus memiliki ciri-ciri: sifat, kuantitas, kualitas, dan waktu penyerahan yang jelas.

Dilihat dari subjek atau pelaku, skema dropshipping belum sepenuhnya memenuhi syarat sebagai pihak yang berakad (‘āqid) dalam bai’ as-salam, khususnya salam paralel. Penjual atau dropship tidak mempunyai hak penuh terhadap barang yang diakadkan sekaligus tidak mempunyai wilayah (kekuasaan) dalam jual beli, dengan alasan barang tidak pernah berada di tangan dropship.

Dilihat dari segi obyek atau barang, skema dropshipping pada dasarnya sudah memiliki kesesuaian dengan bai’ assalam seperti jelas ciri barangnya, dapat diakui sebagai utang, barang dapat diidentifikasi, penyerahan objek atau barang dilaksanakan kemudian hari, adanya tempat penyerahan barang, dan penjualan barang dilakukan sebelum diterima.

Dilihat dari sisi permodalan, skema dropshipping memiliki modal yang sama dengan modal dalam bai’ assalam. Meskipun terkadang modal diserahkan kepada dropship melalui transfer antar rekening bank. Namun hal itu bukan menjadi faktor ketidaksesuaian dengan akad salam, karena dropshipping terjadi pada masa modern di mana kecanggihan teknologi sudah berkembang dan perlu dimanfaatkan.

Implementasi Hakikat Berdagang

Pada semua transaksi perniagaan, kejujuran adalah hal yang sangat penting untuk menumbuhkan dan menjaga kepercayaan antara kedua belah pihak, terutama konsumen. Hal ini pula yang menjadi kekhawatiran penjual dan pembeli dalam model dropshipping ketika terjadi transaksi yang tidak sesuai dengan kesepakatan baik dari sisi pembayaran maupun produk yang dikirimkan. Penjual online harus menampilkan secara utuh penampilan dan spesifikasi dari barang yang dijual. Oleh karena itu, di berbagai marketplace yang ada, penampilan dari suatu produk yang dijual harus dapat dilihat dari berbagai sisi. Begitu pula yang harus dilakukan pada penjualan online berbasis media sosial. Penjual harus menampilkan fisik dari produk tersebut dari berbagai macam sisi.

Selain itu, juga perlu diperhatikan kejelasan dalam harga, barang, dan akad. Sebagaimana Islam juga mensyari’atkan agar kita menjauhkan akad perniagaan yang kita jalin dari segala hal yang bersifat untung-untungan dikarenakan unsur gharar atau ketidakjelasan status sangat rentan untuk menimbulkan persengketaan dan permusuhan

Masih haramkah dropship itu?

Adanya pro dan kontra mengenai kehalalan skema dropship merupakan hal yang menarik untuk diselidiki. Kita dapat memahami bahwa dari sisi rukun dan syarat, dropship telah memenuhi rukun akad walaupun dari sisi subjek kepemilikan terdapat perbedaan pendapat. Dropship dilarang karena barang belum sepenuhnya milik penjual namun diperbolehkan ketika penjual yang berperan sebagai wakil dari pemilik barang mendapatkan izin dari pemilik barang. Kecurangan, penipuan, dan ketidakjelasan pada barang maupun harga menjadi bagian yang dapat diupayakan untuk dihindari oleh para dropshipper dengan mencantumkan deskripsi produk yang jelas dan selalu menjaga komitmen kesepakatan untuk menciptakan kenyamanan dan menumbukan kepercayaan antara dropshiper dan pembeli.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Alfi Amalia. (n.d.). Jual Beli Dengan Menggunakan Sistem Dropshipping dalam Perspektif

Ekonomi Islam.

Sulianta, Feri. (2014). Terobosan Berjualan Online Ala Dropshipping, Yogyakarta,

Penerbit Andi, 2.

Sarwat, Ahmad. (2013). Hukum Menjual Dropshipping apakah Halal?.

http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1357202999. Diakses 03-04-2017

Afandi, Muhammad Yazid. (2009) Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga

Keuangan Syari’ah, Yogyakarta, Logung Pustaka.

CONTACT US

FEB UGM, Jalan Sosio Humaniora No:1, Bulaksumur, D.I. Yogyakarta 55281

Scroll to Top