#JURNARIS

Oleh: Lina Mufidah

Di tengah carut-marutnya perekonomian sebagai imbas dari wabah COVID-19, pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai regulasi fiskal untuk menjaga pemasukan negara, dengan tetap menjaga daya beli masyarakat. Usaha pemerintah dalam menjaga kestabilan ekonomi ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Diseases 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Lewat regulasi ini, pemerintah memberlakukan relaksasi pajak bagi pekerja sektor industri pengolahan melalui PPh 21, pembebasan PPN Impor bagi Wajib Pajak Kemudian Impor Tujuan Ekspor (KITE), terutama KITE dari kalangan industri kecil dan menengah pada 19 sektor tertentu, pengurangan tarif PPh sebesar 25% bagi Wajib Pajak KITE pada sektor tertentu, percepatan restitusi PPN, penurunan tarif PPh Badan menjadi 22%. Dalam Perpu ini juga diatur perpajakan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yang pengenaannya melalui dua skema, yaitu lewat PPN dan PPh. Lewat regulasi baru ini, tentu tidak dapat diragukan bahwa pemerintah berusaha memberikan stimulus bagi dunia usaha, sehingga menjaga pemasukan bagi negara. Namun, barangkali ada satu opsi regulasi fiskal yang dilewatkan oleh pemerintah, yaitu menggencarkan pengenaan pajak bagi orang-orang kaya di Indonesia.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Forbes, kekayaan orang-orang terkaya di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Forbes pada 2019 mencatat aset bersih 50 orang terkaya Indonesia mencetak rekor baru dengan total kekayaan USD134,6 miliar atau naik USD5,6 miliar dari tahun lalu. Namun, berdasarkan data Ditjen Pajak tahun 2017, kontribusi konglomerat ini hanya sebesar 0,8% dari total penerimaan pajak Indonesia.

Dilansir dari CNBC Indonesia, RAPBN pada 2020 ditargetkan sebesar Rp2.221, 54 T. Pada RAPBN ini, penerimaan pajak diperkirakan mencapai Rp1.819,2 T atau sebesar 83,8% dari APBN. PPh merupakan komponen terbesar dalam penerimaan pajak yang pada tahun 2019 memberikan sumbangsih sebesar 13,3% dari outlook APBN 2019 atau sebesar 818,6 T. Dari PPh tersebut, PPh karyawan memberikan sumbangsih terbesar yaitu senilai Rp555,63 triliun atau sebesar 21,79% bagi realisasi PPh nonmigas.

Melalui data di atas, dapat dilihat terjadinya ketidakadilan bagi para pekerja kelas menengah yang menyumbangkan PPh sebesar 21,79%, sementara kontribusi pajak konglomerat kurang dari 1%. Padahal, menurut Kristiaji, peneliti perpajakan DDTC Fiscal Research, di banyak negara, kontribusi para konglomerat dapat mencapai 30-40% kepada pemasukan pajak atau paling tidak melalui PPh. Kesenjangan ini juga menunjukkan masih belum terwujudnya asas keadilan dalam perpajakan di Indonesia, yang sejatinya, pajak berfungsi sebagai redistribusi pendapatan dari masyarakat dengan pendapatan tinggi kepada masyarakat yang berpendapatan lebih rendah.

Menurut pengamat perpajakan, rendahnya kontribusi pajak orang-orang kaya disebabkan karena permasalahan kepatuhan. Berbeda dengan karyawan dan PNS yang gajinya akan langsung dipotong pajak, pembayaran pajak oleh konglomerat ini membutuhkan kesadaran pribadi masing-masing. Hal ini diperparah dengan sikap pemerintah yang tidak memberikan perhatian khusus dalam mengejar pemungutan pajak bagi para konglomerat. Padahal, para konglomerat ini memiliki akses yang lebih baik kepada konsultan, pakar keuangan, juga orang-orang politik. Minimnya kontribusi pajak oleh orang-orang kaya di Indonesia ini dinilai Kristiaji disebabkan ada masalah dalam administrasi pajak atau kepatuhan pribadi konglomerat tersebut yang seharusnya menjadi tantangan bagi pemerintah untuk menanganinya.

Di Indonesia sendiri saat ini, tidak mengenal pajak kekayaan. Pajak yang dikenakan kepada para konglomerat adalah PPh 25 dan 29, yaitu PPh nonkaryawan, lebih tepatnya bagi pemilik usaha dan pekerja bebas. Sementara, pajak atas kekayaan di Indonesia sendiri, menurut Kristiaji, terbagi ke dalam beberapa jenis, misalnya PBB (ketika kekayaan ditahan dalam bentuk tanah dan bangunan), pajak ketika suatu asset dijual dan memperoleh nilai tambah. Namun, tidak semua transaksi di Indonesia diberlakukan capital gain tax, kebanyakan masih bersifat final tax.

Capital gain tax sendiri hingga saat ini masih banyak menimbulkan kontroversi. Di Amerika Serikat, Partai Demokrat terus menggaungkan pemerataan pendapatan melalui pajak bagi orang kaya yang diwujudkan dalam peningkatan capital gain tax dan tarif pajak penghasilan bagi orang-orang dengan penghasilan teratas. Namun, hal ini ditentang karena pengenaan capital gain tax yang tinggi—yang memang secara langsung hanya dikenakan pada wajib pajak konglomerat—dinilai  dapat mengarah pada penurunan investasi dan penurunan produktivitas, hingga akhirnya akan berdampak ke para pekerja dalam bentuk gaji yang lebih kecil. Selandia Baru adalah salah satu negara yang gagal dalam memberlakukan capital gain tax. Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, yang meyakini bahwa penerapan capital gain tax dapat mengatasi isu ketidakadilan dalam sistem perpajakan, menyatakan bahwa wacananya ini tidak berhasil diterapkan karena besarnya penolakan dari warga Selandia Baru.

Terlepas dari tidak adanya bentuk khusus bagi pajak kekayaan di Indonesia, nyatanya potensi besarnya pemasukan pajak dari konglomerat ini tidak bisa disepelekan oleh pemerintah, bahkan jika pemungutan hanya difokuskan pada PPh-nya saja. Mengingat, nominal pajak para konglomerat ini lebih besar dibandingkan dengan wajib pajak biasa. Mungkin saja pajak satu orang kaya setara dengan lima wajib pajak biasa. Hal tersebut tentu menjadi nilai akumulasi yang besar jika dihitung secara nasional.

Pada masa penanganan pandemic COVID-19 ini, penggencaran pajak bagi orang-orang kaya semestinya dapat menjadi salah satu opsi regulasi fiskal pemerintah. Jika skema ini benar-benar diterapkan, tentu fungsi pajak sebagai alat redistribusi pendapatan dapat diwujudkan. Mengingat, kegiatan filantropi yang bersifat sukarela tentu tidak dapat dijadikan sebagai tumpuan utama dari pemerataan pendapatan pada masa pandemi ini. Di samping, pemerintah tentunya memerlukan tambahan sumber pembiayaan selama dan pasca pandemi COVID-19 ini.  Skema ini juga disuarakan oleh Partai Australia Hijau (Australian Greens/The Greens) yang mengusulkan pemerintah agar menaikkan tarif pajak bagi wajib pajak orang-orang berpenghasilan kelas kakap setelah pandemi COVID-19 berakhir. Hal senada juga disuarakan oleh Frans Vanistendael, Guru Besar Emiritus Hukum Pajak di Universitas Katholik Leuven dan Akademi Pajak Brussels, Belgia, yang mengutarakan bahwa mungkin akan dilakukan pengaturan ulang pajak atas laba dan pajak capital gains dibandingkan dengan pajak atas tenaga kerja, bagaimana teknisnya tergantung pada struktur sistem pajak nasional.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. https://news.ddtc.co.id/dukungan-pajak-orang-kaya-sedikit-berkurang-ada-apa-18362?page_y=3363.333251953125
  2. https://news.ddtc.co.id/frans-vanistendael-covid-19-pengaruhi-sistem-pajak-internasional-20341?page_y=3217.333251953125
  3. https://news.ddtc.co.id/ditolak-warga-pajak-capital-gain-dibatalkan-15795?page_y=2802
  4. https://news.ddtc.co.id/memahami-konsep-capital-gains-sebagai-penghasilan-15850?page_y=3864
  5. https://news.ddtc.co.id/efek-virus-corona-dpr-usul-orang-kaya-dipajaki-lebih-besar-19745?page_y=2802
  6. https://news.ddtc.co.id/bill-gates-pemerintah-seharusnya-meningkatkan-pajak-untuk-orang-kaya-18288?page_y=2818
  7. https://www.pajak.go.id/id/artikel/agar-tak-seperti-seabad-lalu
  8. https://www.pajak.go.id/artikel/orang-kaya-dan-pajak
  9. https://ekonomi.bisnis.com/read/20191119/10/1171864/orang-kaya-harus-bayar-pajak-lebih-besar
  10. https://economy.okezone.com/read/2018/12/17/20/1992339/kontribusi-pajak-orang-kaya-masih-minim-ini-penjelasannya?page=1

Oleh : Zyan Hasna Nadhira

Akhir-akhir ini kita banyak sekali mendengar kejahatan yang sudah diperbuat oleh virus Corona terhadap keberlangsungan umat manusia. Tapi nyatanya, bagai pisau bermata dua, kejahatan bagi umat manusia ini ternyata malah membawa dampak positif bagi lingkungan hidup di sekitar kita. Kita seringkali tutup mata dengan polusi udara yang semakin pekat akibat menumpuknya kendaraan, lahan hijau yang ditukar dengan kehadiran bangunan luas dan gedung-gedung tinggi, maupun sampah di laut yang menyesakkan makhluk hidup di dalamnya. Namun, akhir-akhir ini kita juga banyak dibuat takjub dengan ide-ide baru dari anak-anak muda dalam menangani permasalahan ini. Mereka mendirikan bisnis atau startup yang bertemakan lingkungan dan berusaha membawa perubahan. Kita mengenal Evoware dengan bungkus makanan berbahan dasar rumput lautnya, Waste4Change dengan layanan pengelolaan limbahnya, dan adapula Smash dengan platform terpadu untuk pengelolaan sampah di Indonesia. Tujuan mereka jelas satu, menciptakan solusi bagi masyarakat terkait permasalahan lingkungan.

Kita mengetahui persamaan dari keempat startup tersebut adalah bentuk entitas mereka yang tidak hanya mengejar untung atau profit semata, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan lingkungan hidup di sekitar mereka. Mereka memahami pentingnya keberadaan lingkungan hidup bagi manusia. Dampak dari sejahteranya lingkungan hidup tentu akan kembali lagi ke manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Sebenarnya kita sudah terbiasa dengan topik ini sebagai bahasan sehari-hari kaum milenial. Kata-kata seperti sociopreneur, eco-friendly, dan lain sebagainya yang lekat dengan entitas-entitas tersebut. Padahal, apabila kita telusuri terdapat sudut pandang menarik mengenai hal ini dari sisi ekonomi islam atau singkatan gaulnya ‘ekis’.

Di dalam Al-Qur’an, kita akan mudah menemui ayat-ayat yang menyinggung mengenai entrepreneur ini. Salah satunya adalah kegiatan kewirausahaan kaum Quraisy, yang tertulis dalam Surat Al- Quraisy ayat 1-4:

Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka´bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.

Selain itu, kegiatan kewirausahaan sendiri, dalam perspektif islami, terdiri dari tiga pilar yang saling terkait (Gümüsay, 2014). Pilar pertama merupakan hal yang sangat kita khatam betul dari kegiatan ini, yaitu untuk mencari untung. Pilar yang kedua mengatakan bahwa kegiatan kewirausahaan itu berkaitan erat dengan sosial ekonomi dan etika. Maksudnya, di dalam perspektif islam, kegiatan kewirausahaan dipandu oleh norma, nilai, dan rekomendasi. Sedangkan pilar ketiga mencakup masalah religius-spiritual dan hubungan manusia dengan Tuhan. Pilar-pilar ini saling terkait, saling membentuk, sehingga tidak terpisahkan. Kemudian, social entrepreneurship menurut Mair dan Marti (2006) merupakan penggabungan dari entrepreneurship dan social mission. Sedangkan, Austin et al. (2006, p. 1) mendefiniskan social entrepreneurship sebagai “entrepreneurial activity embedded with a social purpose.”. Dari sini, kita sudah dapat menyimpulkan bahwa dalam islam dikenal kegiatan kewirausahaan atau entrepreneur yang menghargai keadaan lingkungan sekitarnya.

Selain itu, apabila dikulik lebih dalam lagi dari segi islami, ternyata isu socioentreprenur ini juga tidak terlepas dari Maqashid Syariah. Di dalam islam, kita mengenal Maqashid Syariah sebagai tujuan Syariah. Syariah sendiri, seperti yang kita ketahui, merupakan hukum islam yang didasarkan pada Alquran serta hadis dan sunah Rasul. Menurut Al-Ghazali, Maqasid Al-Shari’ah ditujukan untuk mempromosikan kesejahteraan umat manusia, yang terletak dalam melindungi dan menjaga iman (din) mereka, diri mereka sendiri (nafs), kecerdasan (aql) mereka, keturunan (nasl) mereka, dan kekayaan (mal) mereka (Dusuki & Abdullah, 2007). Sehingga, apabila Maqashid Syariah tertanam dalam kegiataan kewirausahaan, masyarakat secara keseluruhan akan makmur.

Tujuan Maqashid Syariah dari sociopreneur dalam hal menjaga diri sendiri (diri) dan keturunan (nasl) dapat kita lihat implementasinya ketika suatu entitas bisnis menjaga dan melindungi lingkungan hidup disekitarnya dengan maksud melestarikan sumber daya alam bagi kehidupan generasi sekarang maupun mendatang. Kemudian, sociopreneur dalam hal kecerdasan (aql) dapat dilihat implementasinya ketika seorang entrepreneur menyelesaikan suatu permasalahan. Kita jelas mengetahui bahwa seorang entrepreneur dituntut untuk cerdas dan inovatif dalam menghadapi masalah disekitarnya. Hal ini tentu secara tidak langsung melatih kecerdasan (aql) dari seorang entrepreneur. Kemudian, tujuan Maqashid Syariah dalam hal menjaga kekayaan (maal) ini dapat dijelaskan melalui kegiatan kewirausahaan atau entrepreneur itu sendiri yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan atau kekayaan (maal). Dalam berwirausaha, tentu kita mengusahakan agar ada pendapatan terus-menerus sehingga kekayaan dapat tetap atau terjaga, bahkan bertambah. Dengan begitu, kita akan dapat menafkahi diri sendiri dan keluarga.

Implementasi nilai-nilai islam nyatanya sangat dekat bahkan sejalan dengan kegiatan entrepreneur atau sociopreneur yang dianggap sebagai ekonomi konvensional atau tidak memiliki hubungan dengan ekonomi islam. Padahal, nyatanya sociopreneur juga dapat menghidupkan nilai-nilai islam dalam perekeonomian. Oleh karena itu, kita —sebagai mahasiswa ekonomi yang juga seorang muslim— perlu menyadari bahwa bentuk kontribusi kita di dunia ekis bukan melulu tentang lembaga keuangan dengan embel-embel syariah saja. Topik ekis nyatanya dapat kita eksplorasi lebih luas lagi. Buktinya, dengan menjadi seorang sociopreneur saja kita sudah mengaplikasikan ekonomi islam kan?

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Andriani, Dewi. 2018. 8 Sociopreneur Indonesia Tembus Kompetisi Seratus Wirausaha Sosial se-

Asia. Diakses pada 29 April 2020. https://entrepreneur.bisnis.com/read/20180810/265/

826454/8-sociopreneur-indonesia-tembus-kompetisi-seraus-wirausaha-sosial-se-asia

Gümüsay, A. A.. 2014. Paper Entrepreneurship from an Islamic Perspective. 199–208.

Mediastartup Indonesia. 2020. Evoware Startup Peduli Lingkungan, Buat Kemasan Kertas dan

Plastik yang Dapat Dimakan. Diakses pada 29 April 2020. https://www.mediastartup.id/2020/03/08/evoware-startup-peduli-lingkungan-buat-kemasan-kertas-dan-plastik-yang-dapat-dimakan/

Shehu, F. M., Ahmad, N. H., Al-Aidaros, & Al-Hasan. 2015.Islamic Entrepreneurship in the

Light of Maqasid Al-Shari’ah: A Critical Review. Journal of Social and Development Sciences, University Utara Malaysia.

Oleh: Innaka Leshinta

Makanan merupakan kebutuhan primer bagi setiap manusia. Maka, tak mengherankan apabila sebagian besar pendapatan seseorang dihabiskan untuk memenuhi …

Oleh: Saefu Robani

Kemiskinan merupakan suatu isu yang telah ada sepanjang sejarah manusia. Perbedaannya, kemiskinan di zaman dahulu pada umumnya disebabkan oleh perampasan hak-hak manusiawi secara paksa yang disebabkan oleh keserakahan pemimpin, peperangan, penjajahan hingga perbudakan. Kini, hampir semua orang memiliki kebebasan serta hak asasi atas diri sepenuhnya. Akan tetapi, masih banyak manusia yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari disebabkan minimnya penghasilan dari pekerjaan mereka sehingga kepemilikan hak asasi seakan-akan tidak ada artinya sama sekali.

Lantas, faktor apakah yang menyebabkan kemiskinan masih lestari, khususnya di zaman yang sudah modern seperti saat ini? Salah satu faktor utama yang mendorong konsistensi kemiskinan di berbagai negara adalah ketidakmerataan atau ketimpangan pendapatan (Gould, 2014). Adanya ketimpangan keadaan sosio-ekonomi antara wilayah kota dan desa, orang kaya dan orang miskin, serta pengusaha dan buruh mengakibatkan kekayaan mengalir deras hanya untuk mereka yang berada di posisi atas, sedangkan yang di bawahnya hanya bisa mencicipi sisa tetesannya. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, kejadian konkret yang dapat dijadikan contoh adalah kondisi perekonomian Indonesia di masa lampau.

Dalam kurun waktu 1995-2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cenderung pesat hanya dapat dirasakan oleh 20% penduduk terkaya di tanah air (World Bank, 2015). Bagaimana dengan sisanya? Mereka terperangkap dalam stagnansi pendapatan, jikalau bertambah, itu pun tidak seberapa. Keadaan tersebut menahan orang-orang yang hidup berkekurangan untuk dapat melepaskan diri dari kemelaratan. Padahal, harga komoditas kebutuhan hidup secara agregat selalu naik walau perlahan-lahan. Jadi, wajar saja apabila dalam periode tersebut persentase kemiskinan penduduk di Indonesia selalu di atas dua digit (Badan Pusat Statistik, 2018).

Pertanyaannya adalah, bagaimana cara untuk dapat memukul ketidaksamarataan dalam pendistribusian kekayaan sehingga terbagi secara efektif dan proporsional ke setiap lapisan masyarakat? Barangkali solusi yang selama ini dicari-cari dapat ditemukan di dalam rukun islam yang ke-3.

Di negeri yang mayoritas penduduknya beragama islam, zakat memiliki potensi yang layak dikembangkan secara strategis dalam menangani masalah ekonomi dan sosial kemasyarakatan, seperti kesenjangan pendapatan. Karena pada hakikatnya, zakat mendorong seseorang yang berkecukupan untuk menyisihkan kelebihan hartanya kepada yang lebih membutuhkan. Dampaknya adalah ketimpangan sosial dapat diminimalisir.

Zakat juga bersifat wajib bagi setiap individu yang menganut ajaran islam yang telah memenuhi syarat tertentu. Oleh sebab itu, potensi dari dana yang dikumpulkan melalui zakat di Indonesia sendiri sangatlah besar. Bagaimanapun juga, dana yang diperoleh zakat tidak boleh dikelola dengan semaunya sendiri untuk kepentingan tertentu. Dana zakat hanya boleh disalurkan untuk golongan-golongan yang berhak mendapatkannya, terutama bagi orang-orang yang terjerat kemiskinan. Dengan demikian, efek yang ditimbulkan zakat akan dapat dirasakan langsung bagi penerimanya.

Berbeda halnya dengan kebijakan-kebijakan penanggulangan kemiskinan yang diselenggarakan pemerintah. Untuk menyalurkan bantuan kepada orang miskin, kebijakan yang dibuat pemerintah harus sanggup menghadapi struktur birokrasi yang berliku-liku, penerapannya pun harus melewati berbagai saluran sehingga rawan untuk “rontok” di tengah jalan.

Hingga kini, konsep zakat terus dikembangkan untuk dapat meningkatkan efektivitasnya dalam membantu para resipiennya. Dana zakat yang tersalurkan diharapkan tidak hanya dipakai untuk kegiatan konsumtif sehingga setelah diberikan langsung dihabiskan semaunya. Melainkan, dana yang diberikan akan digunakan untuk meningkatkan produktivitas penerima sehingga mampu hidup mandiri secara finansial. Konsep ini lazim disebut zakat produktif, di mana objek zakat diberikan bantuan serta peluang untuk dapat menaikkan statusnya menjadi subjek atau donatur zakat.

Penelitian yang melibatkan para tenaga ahli mengestimasi bahwa total seluruh potensi penghimpunan dana zakat di tanah air adalah sebesar 233,8 trilyun rupiah atau sekitar 2% dari total GDP Indonesia di tahun 2017 (BAZNAS, 2019). Tentunya hasil penelitian tersebut bisa saja meleset dari kenyataan karena sifatnya taksiran. Sayangnya, realisasi zakat di Indonesia sendiri hanyalah sebesar 4,9 trilyun rupiah, jauh berkali lipat di bawah potensi sesungguhnya  (BAZNAS, 2018). Hal tersebut menandakan rendahnya tingkat kesadaran orang-orang beragama islam di Indonesia dalam melakukan kewajiban zakat. Padahal, sangatlah memungkinkan apabila ternyata solusi yang selama ini dicari-cari untuk menjawab persoalan kemiskinan yang tak kunjung usai terdapat dalam perintah Allah, tetapi justru diabaikan oleh kebanyakan manusia.

Untuk rendahnya tingkat kesadaran zakat, penulis hanya bisa beranekdot bahwasanya orang-orang Islam di Indonesia lebih takut dipenjara dibandingkan masuk ke dalam neraka. Alasannya adalah mereka taat dalam membayar pajak, tetapi lalai dalam menunaikan zakat.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Badan Amil Zakat Nasional. (2018). Statistik Zakat Nasional. Badan Amil Zakat Nasional. https://baznas.go.id/szn2018

Badan Amil Zakat Nasional. (2019). Buku Indikator Pemetaan Potensi Zakat. Badan Amil Zakat Nasional. https://drive.google.com/file/d/1-eaMjj3JYoiPlXu29E88B61QpP0t5938/view

Badan Pusat Statistik. (2018). Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan, 1970-2017. Badan Pusat Statistik. https://www.bps.go.id/statictable/2014/01/30/1494/jumlah-penduduk-miskin-persentase-penduduk-miskin-dan-garis-kemiskinan-1970-2017.html

Gould, E. (2014). Inequality Is the Main Cause of Persistent Poverty. Economic Policy Institute. https://www.epi.org/blog/inequality-main-persistent-poverty/

World Bank. (2015). Indonesia’s Rising Divide. World Bank. https://www.worldbank.org/en/news/feature/2015/12/08/indonesia-rising-divide

Oleh: Angelica Novitasari

Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem dual banking dimana terdapat bank konvensional dan bank syariah. Saat ini, sudah banyak bank konvensional di Indonesia yang juga membuka unit layanan syariah, seperti halnya BNI Syariah, BRI Syariah, Mandiri Syariah, dan lain sebagainya. Sistem bank syariah sendiri telah masuk ke Indonesia sejak tahun 1983. Pada saat itu, pemerintah mulai mengenalkan sistem bagi hasil dimana merupakan bagian dari bank syariah. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah pada saat itu hanya diatur  pada UU No. 7 Tahun 1992 tentang “bank dengan sistem bagi hasil” (ojk.go.id).

Sistem perbankan syariah sendiri telah menjadi bagian dari perbankan nasional yang telah diterima dan dikendalikan oleh Bank Indonesia. Namun, tidak menutup kemungkinan masih adanya simpang siur informasi berkaitan dengan sistem pada bank syariah. Hal tersebut disebabkan karena bank syariah termasuk “baru” diterapkan dalam perekonomian Indonesia. Selain itu, keberadaan bank konvensional yang sudah lebih lama dikenal di Indonesia, membuat bank syariah belum memiliki eksistensi yang cukup tinggi. Fakta-fakta tersebut menjadi alasan masih kurangnya informasi yang jelas dan menyeluruh terkait perbedaan antara sistem pada bank konvensional dan bank syariah.

Sebagian besar masyarakat kerap menarik beberapa kesimpulan berdasarkan pandangan dan informasi yang dimiliki oleh pribadi masing-masing terkait dengan bank syariah. Contoh yang banyak ditemui, yaitu masyarakat yang membedakan bank syariah dengan bank konvensional hanya sebatas pada konsep halal dan haram. Bahkan, ada yang beranggapan bahwa kedua sistem perbankan sama saja, hanya berbeda istilah atau sebutannya. Tentunya hal tersebut menjadi informasi yang rancu dan tidak bisa ditelan mentah-mentah oleh masyarakat. Adanya ketidakjelasan tersebut perlu diluruskan agar masyarakat lebih memahami perbedaan yang mendasar antara sistem pada bank syariah dan bank konvensional.

Menurut UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah diartikan sebagai prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Prinsip syariah yang merupakan dasar operasional bank syariah adalah aturan perjanjian antara bank dan pihak lain untuk jasa penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang berdasarkan hukum Islam dan dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, prinsip bagi hasil (mudharabah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarahwaiqtina) (Umam, 2010).

Dalam memperoleh keuntungan, prinsip bagi hasil (mudharabah) pada bank syariah berbeda dengan sistem bunga pada bank konvensional. Bank syariah yang memiliki prinsip bagi hasil juga dapat disebut dengan profit and loss sharing yang berarti adanya pembagian hasil apabila memperoleh keuntungan dan tanggung jawab bersama apabila mengalami kerugian. Pada sistem bagi hasil, pengembalian (return) dapat diketahui setelah pembiayaan berlangsung meskipun jumlah bagi hasil sudah tertulis di kontrak. Sedangkan, dalam sistem bunga pada bank konvensional atau disebut dengan interest based system, pengembalian (return) nilainya bersifat tetap sesuai dengan yang tertulis di kontrak sehingga tidak memandang apakah nasabah mengalami untung atau rugi. Nasabah diharuskan untuk terus melunasi pinjaman sebesar nilai pokok ditambah dengan bunganya. Proses transaksi itulah yang tergolong riba Qardh dimana adanya kelebihan yang diminta oleh pihak pemberi pinjaman terhadap pihak peminjam pada saat mengembalikannya.

Dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 275-276 menjelaskan bahwa Allah sangat melarang praktik riba dan golongan yang menerapkan riba merupakan orang-orang kafir penghuni neraka. Dalil tersebut menjadi landasan kuat bahwa sistem konvensional tentu tidak dapat disamakan dengan sistem syariah yang menghindari praktik riba dalam pembiayaannya. Oleh karena itu, sistem bank syariah menjadi sistem yang ideal untuk diterapkan dalam kehidupan agar dapat menegakkan keadilan dan kesejahteraan serta senantiasa terhindar dari perbuatan dosa.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Otoritas Jasa Keuangan. (n.d.). Sejarah Perbankan Syariah. Diakses pada 30 April

  1. https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/tentang-syariah/Pages/Sejarah-Perbankan Syariah.aspx

Umam, Khotibul. 2010. Peningkatan Ketaatan Syariah Melalui Pemisahan (Spin-off) Unit 

Usaha Syariah Bank Umum Konvensional. Mimbar Hukum, no. 3 (Oktober): 607-624. Diakses pada 30 April 2020. https://doi.org/10.22146/jmh.16239

Oleh: Rumzil Maynisa Sanjaya

Pola makan modern identik dengan makanan cepat saji. Umumnya fast food merupakan makanan olahan yang digoreng atau deep frying sehingga memiliki kesan renyah. Jenis makanan ini sering diidentikkan dengan junk food karena proses memasaknya serupa. Fast food menjadi salah satu alternatif makanan bagi masyarakat kota karena tuntutan kesibukan mereka.

Banyak usaha fast food yang menggunakan model waralaba atau franchise dalam mengembangkan bisnisnya. Gerai fast food umumnya menyediakan beberapa menu, mulai dari makanan berat, minuman bersoda, makanan pencuci mulut, hingga produk baru pada setiap periodenya yang membuat konsumen penasaran untuk mencoba. Tak dapat dipungkiri bahwa waralaba telah berkembang pesat di Indonesia, terbukti dengan banyak restoran waralaba di sudut-sudut jalan, terlebih pada wilayah perkotaan. Kemudahan mendapatkan fast food sejalan dengan aktivitas manusia saat ini yang efisien dan memaksimalkan produktivitas. Gaya hidup yang instan, menjadikan masyarakat lebih tertarik mengonsumsi makanan dengan penyajian cepat, praktis, dan nikmat, serta diyakini dapat meningkatkan status sosial. Layanan pemesanan yang terbilang mudah, seperti delivery order dan drive thru juga menjadi salah satu pertimbangan konsumen.

Salah satu contoh waralaba fast food terkenal di negeri ini yaitu KFC dengan logo seorang pria tua tersenyum. Dilansir dari situs web “In, On, and For Emerging Markets”, PT. Fast Food Indonesia Tbk. (FAST) yang beroperasi sebagai pemegang waralaba eksklusif Kentucky Fried Chicken (KFC) di Indonesia membagikan diagram kinerja perusahaan. Diagram yang ditampilkan menjelaskan bahwa terdapat kenaikan pendapatan penjualan bersih dari tahun 2016—2019. Kenaikan persentase pendapatan penjualan bersih untuk dua tahun terakhir mencapai 12,91%. Hal ini tentu menandakan peningkatan permintaan konsumen atas menu yang ditawarkan seiring dengan tuntutan jadwal yang padat seiring dengan dibukanya gerai-gerai baru.

Menilik dari kacamata Islam, fast food dikatakan halal apabila tidak mengandung bahan-bahan yang dilarang dalam agama. Sejauh ini, waralaba fast food yang berasal dari luar negeri dan berkembang di Indonesia telah menyesuaikan dengan kebudayaan lokal. Menu yang ditawarkan disesuaikan pula dengan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim sehingga menghilangkan beberapa bahan seperti bacon atau daging babi. Tidak hanya itu, beberapa fasilitas lainnya juga berbeda sesuai dengan kebijakan masing-masing penerima waralaba.

Tak jarang masyarakat melewatkan beberapa hal yang harusnya diperhatikan, terutama bagi umat muslim. Telah dijelaskan dalam Al-Quran bahwa umat Islam hanya diperbolehkan mengonsumsi makanan yang halal dan baik, tercantum pada Q.S Al-Baqarah ayat 168 yang artinya:

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.

Halal atau dalam bahasa arab yang berarti diperbolehkan adalah segala objek atau kegiatan yang diizinkan untuk digunakan atau dilaksanakan dalam agama Islam. Dalam kehidupan sehari-hari, istilah halal banyak digunakan untuk menunjukkan makanan dan minuman yang diperbolehkan untuk dikonsumsi oleh umat muslim. Dalam Islam, tidak hanya faktor halal yang perlu menjadi pertimbangan. Tayyib yang berarti baik adalah pasangan dari halal yang artinya makanan atau minuman tersebut juga harus memiliki manfaat dan layak untuk dikonsumsi. Meskipun halal, tetapi tidak baik, hendaknya tidak dikonsumsi. Lebih baik mengonsumsi makanan yang telah jelas unsur halal dan baiknya.

Namun, umat muslim kebanyakan hanya berfokus pada halal atau tidaknya makanan dan mengabaikan makna tayyib. Selain memperhatikan bahan dan proses penyajian, mempertimbangkan manfaat makanan tersebut dengan mengetahui kandungan gizinya juga penting. Tidak semua fast food memiliki nutrisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Bukan hanya kandungan gizi yang rendah, terdapat pula beberapa bahaya yang ditimbulkan dan tidak boleh diremehkan. Beberapa kandungan fast food yang perlu diketahui dan tidak boleh diabaikan, yaitu tinggi kalori, tinggi lemak, tinggi garam, tinggi kandungan gula, dan rendah kandungan serat. Tubuh manusia hanya memerlukan 400-1500 kalori, sedangkan kalori pada fast food dapat mencapai 1200 kalori dengan gizi yang rendah. Lemak berlebih tidak baik untuk kesehatan sehingga dapat menyebabkan beberapa penyakit, seperti obesitas, penyakit jantung, hingga stroke. Minuman bersoda sebagai pasangan fast food memiliki kadar gula sangat tinggi dan dapat memicu diabetes. Berbagai macam kandungan tidak sehat ini kurang sesuai dengan arti tayyib atau baik yang memiliki makna tidak membahayakan tubuh dan akal.

Kehadiran fast food memengaruhi pola makan masyarakat, terutama mereka yang berada di wilayah perkotaan. Makanan cepat saji memang memiliki kesan tidak sehat. Selama tidak dijadikan sebagai makanan sehari-hari, fast food tidak terlalu membahayakan kesehatan. Untuk itu, perlu untuk memulai pola hidup sehat dari hal-hal kecil. Bagi penggemar fast food, sudah selayaknya untuk mengurangi jumlah dan frekuensi jenis makanan cepat saji. Untuk menghindari keinginan membeli makanan tersebut, dianjurkan mengenal dan mengonsumsi makanan segar dan bergizi yang lebih menyehatkan. Pola makan modern perlu diimbangi dengan rutin berolahraga dengan meluangkan waktu setidaknya sekali dalam seminggu.

 

DAFTAR PUSTAKA

Nusa, Adisti dkk. (2013). Hubungan Faktor Perilaku, Frekuensi Konsumsi Fast Food, Diet dan

Genetik dengan Tingkat Kelebihan Berat Badan. Media Gizi Indonesia, Vol. 9, No. 1 Januari–Juni 2013: hlm. 20–27.

Qardhawi, MY. (n.d.). Halal dan Haram dalam Islam. Academia

In, On, and For Emerging Markets. PT. Fast Food Indonesia Tbk. Diakses 25 April

  1. https://www.emis.com/php/company/profile/ID/Pt_Fast_Food_ Indonesia_Tbk_id_1610705.html

Oleh: Irfan Aziz A.F.

Suatu produk pasar modal atau efek syariah dikatakan syariah jika memenuhi prinsip-prinsip syariah dan tidak dilakukan kegiatan …

Oleh: Agung Setia Adi

Media dan hiburan merupakan suatu objek yang tidak bisa dilepaskan dari aktivitas setiap manusia dalam menjalankan kegiatan sehari-hari. Media menjadi sumber bagi manusia untuk mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan. Sedangkan, hiburan menjadi sumber bagi manusia untuk menghilangkan penat setelah melakukan berbagai macam aktivitas selama satu hari atau mungkin satu minggu. Perkembangan teknologi saat ini semakin memudahkan manusia dalam mendapatkan kedua objek tersebut. Hanya melalui kotak kecil berukuran kurang lebih 5 inchi (dibaca: smartphone), setiap orang dapat mengakses media dan hiburan dengan mudah. Kompas, Instagram, Youtube, dan Netflix merupakan contoh platform yang tersedia di dalamnya.

Meningkatnya penggunaan platform mobile memicu konsumen di seluruh dunia untuk meningkatkan konsumsi mereka terhadap media dan hiburan. Berdasarkan data yang dilansir oleh PricewaterhouseCoopers (PwC), pendapatan industri media dan hiburan secara global pada tahun 2018 mencapai US$ 2,2 Triliun. Angka ini relatif lebih tinggi jika dibandingkan pada tahun 2014, yaitu sebesar US$ 1,7 Triliun. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan sebesar 29% hanya dalam jangka waktu 5 tahun. Bahkan, diproyeksikan pada tahun 2023 pendapatan industri media dan hiburan menembus angka US$ 2,6 Triliun. Maka, dapat disimpulkan bahwa saat ini industri media dan hiburan menjadi katalisator yang penting bagi pertumbuhan perekonomian secara global.

Meningkatnyakonsumsi media dan hiburan ini sejalan dengan meningkatnya pasar industri media dan hiburan halal. Data yang dilansir oleh Dinard Standard melalui sharianews.com, pada tahun 2019 pasar industri media dan hiburan halal dunia diprediksi mencapai US$ 232 miliar, melewati capaian pada tahun 2017 atau 2018 yang hanya memperoleh kurang lebih USD 209 dan 220 miliar.,

Namun, faktanya Indonesia belum mampu memaksimalkan potensi industri dan media halal ini. Media dan hiburan di Indonesia saat ini masih dipenuhi oleh konten-konten yang berbau negatif, seperti hoax, hate speech, SARA, bahkan konten yang berbau zina. Hanya sedikit konten berisi moral yang ditampilkan dalam media dan hiburan di Indonesia. Tentu, hal ini harus menjadi perhatian kita bersama. Mengingat media dan hiburan halal merupakan salah satu komponen penting dalam menjalankan halal lifestyle.

Media dan hiburan dalam islam sebenarnya boleh-boleh saja. Selama media dan hiburan tersebut tidak membuat manusia melakukan maksiat dan melupakan Allah. Apabila manusia mengonsumsi media dan hiburan dengan niat bermaksiat, maka mereka akan memperoleh dosa. Akan tetapi, apabila mereka mengonsumsi kedua objek tersebut dengan niat menghibur hati agar dapat terus berbakti kepada Allah, maka mereka termasuk manusia yang taat. sebab, sejatinya setiap perbuatan manusia dinilai bergantung pada niatnya. Dalam H.R. Bukhari, no. 1 dan H.R Muslim, no. 1907 tertulis yang artinya:
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.”
Jika ditelisik lebih lanjut media dan hiburan halal bahkan dapat menjadi ajang bagi umat muslim untuk meningkatkan keimanan melalui konten-konten yang berbau islami.  Media dan hiburan halal harus memberikan moral kepada penikmatnya di tengah semakin maraknya demoralisasi. Dapat dianalogikan seperti mata air yang menyegarkan di tengah panasnya gurun pasir. Tentu, konten yang ditampilkan juga harus berisi konten yang ringan sehingga dapat dimengerti dan meningkatkan perhatian banyak orang. Selain itu, media dan hiburan halal juga dapat dijadikan sebagai upaya untuk menunjukkan citra baik agama Islam dan umat muslim. Kita ketahui bersama bahwa saat ini banyak sekali persepsi buruk tentang agama Islam dan umat muslim. Persepsi ini dapat kita minimalisasi dengan memberikan narasi yang baik tentang Islam dan umat muslim melalui media dan hiburan halal ini sehingga Islam dan umat muslim bisa mendapatkan citra yang baik bagi orang sekitar.

Melihat potensi dan manfaat yang sangat besar bagi gaya hidup dan perekonomian, sudah selayaknya pemerintah Indonesia tidak memandang sebelah mata media dan hiburan halal. Pemerintah Indonesia harus dapat menyajikan konten-konten yang positif di dalam industri media dan hiburan. Hal ini sebagai upaya untuk meningkatkan penanaman nilai moral bagi masyarakat. Di sisi lain, kita sebagai umat muslim juga harus selektif dalam mengonsumsi media dan hiburan yang terdapat di berbagai tempat. Jangan sampai media dan hiburan tersebut menjadi satu-satunya tujuan hidup kita sehingga melupakan Allah. Justru sebaliknya, media dan hiburan harus membuat kita semakin dekat dengan Allah. Maka dari itu, sebaiknya kita juga memberikan perhatian lebih untuk mengonsumsi media dan hiburan halal agar kita dapat menjalani halal lifestyle dengan baik sehingga hidup yang kita jalani dipenuhi keberkahan.

DAFTAR PUSTAKA
PricewaterhouseCoopers. (n.d.). Global Entertainment & Media Outlook 2019–2023 – Getting personal: Putting the me in entertainment and media. PwC. Retrieved April 26, 2020, from https://www.pwc.com/gx/en/industries/tmt/media/outlook.html
Sharianews.com. (n.d.). Industri Media dan Hiburan Halal Global di 2019. Sharia News. Retrieved April 26, 2020, from industri-media-dan-hiburan-halal-global-di-2019

CONTACT US

FEB UGM, Jalan Sosio Humaniora No:1, Bulaksumur, D.I. Yogyakarta 55281

Scroll to Top